Minggu, 06 September 2015

TERJEMAHAN SURAT AL-BAQARAH AYAT 243 SD 252

KEWAJIBAN JIHAD DAN MENGELUARKAN HARTA DI JALAN ALLAH

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ خَرَجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَهُمْ أُلُوفٌ حَذَرَ الْمَوْتِ فَقَالَ لَهُمُ اللهُ مُوتُوا ثُمَّ أَحْيَاهُمْ إِنَّ اللهَ لَذُو فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَشْكُرُونَ(243) وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ(244) مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً وَاللهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ(245) أَلَمْ تَرَ إِلَى الْمَلإِ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ بَعْدِ مُوسَى إِذْ قَالُوا لِنَبِيٍّ لَهُمُ ابْعَثْ لَنَا مَلِكًا إِذْ قَالُوا لِنَبِيٍّ لَهُمُ ابْعَثْ لَنَا مَلِكًا نُقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللهِ قَالَ هَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ أَلاَّ تُقَاتِلُوا قَالُوا وَمَا لَنَا أَلاَّ نُقَاتِلَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَقَدْ أُخْرِجْنَا مِنْ دِيَارِنَا وَأَبْنَائِنَا فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ تَوَلَّوْا إِلاَّ قَلِيلاً مِنْهُمْ وَاللهُ عَلِيمٌ بِالظَّالِمِينَ(246) وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ اللهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوتَ مَلِكًا قَالُوا أَنَّى يَكُونُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِنَ الْمَالِ قَالَ إِنَّ اللهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ وَاللهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ(247) وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ ءَايَةَ مُلْكِهِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ التَّابُوتُ فِيهِ سَكِينَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَبَقِيَّةٌ مِمَّا تَرَكَ ءَالُ مُوسَى وَءَالُ هَارُونَ تَحْمِلُهُ الْمَلاَئِكَةُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَةً لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ(248) فَلَمَّا فَصَلَ طَالُوتُ بِالْجُنُودِ قَالَ إِنَّ اللهَ مُبْتَلِيكُمْ بِنَهَرٍ فَمَنْ شَرِبَ مِنْهُ فَلَيْسَ مِنِّي وَمَنْ لَمْ يَطْعَمْهُ فَإِنَّهُ مِنِّي إِلاَّ مَنِ اغْتَرَفَ غُرْفَةً بِيَدِهِ  فَشَرِبُوا مِنْهُ إِلاَّ قَلِيلاً مِنْهُمْ فَلَمَّا جَاوَزَهُ هُوَ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا مَعَهُ قَالُوا لاَ طَاقَةَ لَنَا الْيَوْمَ بِجَالُوتَ وَجُنُودِهِ قَالَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلاَقُو اللهِ كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللهِ وَاللهُ مَعَ الصَّابِرِينَ(249) وَلَمَّا بَرَزُوا لِجَالُوتَ وَجُنُودِهِ قَالُوا رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ (250) فَهَزَمُوهُمْ بِإِذْنِ اللهِ وَقَتَلَ دَاوُدُ جَالُوتَ وَءَاتَاهُ اللهُ الْمُلْكَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَهُ مِمَّا يَشَاءُ وَلَوْلاَ دَفْعُ اللهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَفَسَدَتِ الأَرْضُ وَلَكِنَّ اللهَ ذُو فَضْلٍ عَلَى الْعَالَمِينَ(251) تِلْكَ ءَايَاتُ اللهِ نَتْلُوهَا عَلَيْكَ بِالْحَقِّ وَإِنَّكَ لَمِنَ الْمُرْسَلِينَ (252)

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati; maka Allah berfirman kepada mereka: "Matilah kamu", kemudian Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur. (243) Dan berperanglah kamu sekalian di jalan Allah, dan ketahuilah sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (244) Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapang-kan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembali-kan. (245) Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah Nabi Musa, yaitu ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka: "Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah". Nabi mereka menjawab: "Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang." Mereka menjawab: "Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari kampung halaman kami dan dari anak-anak kami?" Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, mereka pun berpaling, kecuali beberapa orang saja di antara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang zalim. (246) Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu". Mereka menjawab: "Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerin-tahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang banyak?" (Nabi mereka) berkata: "Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa." Allah memberikan pemerin-tahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui. (247) Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa oleh Malaikat. Sesung-guhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman. (248) Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata: "Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu meminum airnya, bukanlah ia pengikutku. Dan barangsiapa tiada meminumnya, kecuali men-ceduk seceduk tangan, maka ia adalah pengikutku." Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata: "Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya." Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata: "Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar." (249) Tatkala mereka nampak oleh Jalut dan tentaranya, merekapun (Thalut dan tentaranya) berdo`a: "Ya Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokoh-kanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir". (250) Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan (dalam peperangan itu) Daud membunuh Jalut, kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud) pemerintahan dan hikmah, (sesudah meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya. Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian manusia dengan sebahagi-an yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam. (251) Itu adalah ayat-ayat Allah. Kami bacakan kepadamu dengan hak (benar) dan sesungguhnya kamu benar-benar salah seorang di antara nabi-nabi yang diutus. (252)

URAIAN AYAT

Kumpulan ayat di atas membicarakan tentang kewajiban jihad di jalan Allah, yang diawali dengan perintah kepada ummat beriman untuk memperhatikan prilaku beribu-ribu orang yang lari meninggalkan kampung halamannya karena takut mati. Kemudian Allah memperlihatkan kekuasaannya kepada mereka dengan mematikan mereka, lalu menghidupkan mereka kembali.

Selanjutnya Allah SWT menyeru ummat beriman untuk berjihad di jalanNya, agar mau menginfakkan rezeki yang dikurniakanNya. Dan Allah berjanji untuk melipat gandakan pahalanya bagi mereka yang berinfak…

Kemudian dilanjutkan dengan kisah Bani Israil sepeninggal Musa, bagaimana sikap pemimpin-pemimpin mereka yang meminta kepada Nabi mereka untuk memilih seorang raja sebagai pemimpin mereka dalam berperang. Diuraikan pula sikap mereka yang tidak konsisten dan tidak teguh memegang janji, serta akibat yang mereka alami setelah demikian.

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ خَرَجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَهُمْ أُلُوفٌ حَذَرَ الْمَوْتِ

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati; 

فَقَالَ لَهُمُ اللهُ مُوتُوا ثُمَّ أَحْيَاهُمْ

maka Allah berfirman kepada mereka: "Matilah kamu", kemudian Allah menghidupkan mereka. 

إِنَّ اللهَ لَذُو فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَشْكُرُونَ(243)

Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur. (243)

Ibnu Katsir menafsirkan ayat di atas sebagai berikut:

Terdapat berbagai pendapat ahli tafsir tentang "orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka, yang beribu-ribu jumlahnya, karena takut mati". Menurut suatu riwayat yang bersumber dari Ibnu Abbas bahwa mereka berjumlah empat ribu jiwa… Menurut yang lain, delapan ribu jiwa. Menurut Abu Shaleh: sembilan ribu jiwa. Menururt versi lain dari Ibnu Abbas: empat puluh ribu jiwa. Wahab bin Munabbih dan Abu Malik berkata: Mereka lebih dari tiga puluh ribu jiwa. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang berkata: "Mereka adalah penduduk negeri yang bernama Zawirdan", dan begitu yang dikatakan oleh As-Suddi dan Abu Shaleh. Ia menambahkan yaitu "(negeri) dari jurusan Wasith". Said bin Abdul Aziz berkata: Mereka penduduk Azri'at. Ibnu Juraij berkata yang bersumber dari 'Athak yang mengatakan seperti ini. Ali bin 'Ashim berkata: Mereka adalah penduduk Zawirdan sebuah negeri satu farsakh dari jurusan Wasith, dan Waki' bin Al-Jarrah berkata di dalam Tafsirnya. Kepada kami diceriterakan oleh Sufyan dari Maisarah bin Habib An-Nahdi, dari Al-Minhal bin 'Amru Al-Asadi yang bersumber dari Said bin Jubair dari Ibnu 'Abbas: "Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati…" Mereka adalah empat ribu orang yang keluar melarikan diri dari penyakit tha'un. Mereka berkata: Mari kita mendatangi negeri yang tidak ada kematian di sana. Selanjutnya, sewaktu berada di tempat ini dan itu, Allah berfirman kepada mereka: "Matilah kalian semuanya", maka merekapun mati. Lalu lewat di dekat mereka salah seorang Nabi, kemudian berdo'a kepada Tuhan-nya untuk menghidupkan mereka. Maka Tuhan menghidupkan mereka kembali, demikianlah firman Allah 'azza wa jalla "Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati…"

Disebutkan oleh sejumlah orang dari kalangan Salaf bahwa; mereka adalah suatu kaum dari penduduk suatu negeri di zaman Bani Israil dahulu kala, yang negeri mereka keracunan makanan, dan dengan demikian mereka ditimpa bencana dakhsyat. Lalu mereka keluar melarikan diri dari maut ke arah daratan. Maka mereka berhenti di sebuah lembah yang harum semerbak, mereka memenuhi ke dua pinggir lembah itu. Kemudian Allah mengutus dua orang malaikat kepada mereka; seorang dari bagian terendah lembah, dan yang lain dari bagian tertinggi lembah, lalu keduanya berteriak keras kepada mereka sekaligus. Maka mereka mati seluruhnya. Mereka digiring ke tempat yang berpagar, dan dibangun sebuah dinding untuk mereka, mereka-pun hilang, terkoyak-koyak dan bercerai berai. Setelah berlalu suatu masa, maka lewatlah di dekat mereka salah seorang Nabi dari Bani Israil yang bernama Hazkial. Ia bermohon kepada Allah agar menghidupkan mereka kembali di hadapannya. Maka Allah memperkenankan do'anya, dan me-merintahkan untuk mengatakan: Wahai tulang-tulang yang hancur luluh! Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk berkumpul. Maka berkum-pullah masing-masing tulang kepada jasad masing-masing. Kemudian Allah menyuruhnya untuk berseru: Wahai tulang-tulang, sesungguh-nya Allah menyuruhmu agar dibungkus dengan daging, urat-urat dan kulit. Maka terjadilah demi-kian, sedang dia (Hazkial) menyaksikannya. Kemudian ia diperintah untuk berseru: Wahai arwah, sesungguhnya Allah menyuruhmu, agar masing-masing roh kembali ke jasadnya dahulu. Maka mereka berdiri hidup kembali. Mereka melihat, mereka telah dihidupkan Allah setelah tidur yang panjang, dan mereka berkata: "Maha suci Engkau, tiada tuhan selain Engkau…" Dalam kehidupan mereka itu terdapat ibarat dan dalil yang pasti atas kembalinya roh kepada jasmani pada hari kiamat kelak, karena inilah Allah berfirman: "Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia", maksudnya dalam ayat-ayat yang mempesonakan, bukti-bukti yang pasti dan, argumentasi yang tidak dapat dibantah ini "tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur". (Tafsir Ibnu Katsir)

Jadi, bertitik tolak dari realitas yang terkandung pada ayat di atas, maka jelaslah bagi kita bahwa manusia sama sekali tidak dapat melarikan diri dari maut, bila waktu yang ditetapkan datang menjelang… Allah Maha Kuasa untuk menghidupkan manusia yang telah mati. Maka sudah pada tempatnya, manusia memper-gunakan nikmat hidup sekarang dengan sebaik-baiknya demi kebahagiaannya di akhirat.

Selanjutnya, pada ayat berikut Allah SWT menyeru ummat beriman:

وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Dan berperanglah kamu sekalian di jalan Allah, dan ketahuilah sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (244)

Allah mendengar ucapan kata dan mengetahui apa yang di balik itu…

Jihad di jalan Allah menuntut pemberian dan pengorbanan… Memberikan harta dan menginfak-kannya di jalan Allah… Kadang-kadang Al-Quran menyebut kata "jihad" dan "perang" sebulum kata "fii sabilillah" itu.

Pada masa ayat Al-Quran diturunkan, pelak-sanaan jihad adalah secara sukarela. Seorang mujahid menginfakkan dirinya sendiri, dimana kadang-kadang dia tidak mempunyai harta yang menyokongnya untuk berjihad. Maka di sini datanglah seruan berikut:

مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللهَ قَرْضًا حَسَنًا

Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), 

فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً

maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.

Jika maut dan hidup di tangan Allah… Maut tidak akan datang sebelum waktu yang ditentukan Allah… Kemudian maut yang dijalani dalam berperang menegakkan agama Allah, akan dibalas dengan surga yang penuh kenikmatan… Maka demikian pula dengan harta benda…, berinfak di jalan Allah sama sekali tidaklah akan mencelaka-kan seseorang… Tidak akan menjerumuskan se-seorang ke dalam kesengsaraan… karena Allah SWT akan menggantinya dengan pahala yang berlipat ganda:

وَاللهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ(245)

Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan. (245)

Pada ayat berikut Allah SWT mengungkapkan tentang sikap plin plan yang ditampilkan oleh pemuka-pemuka Bani Israil dalam berjihad atau berperang menegakkan agama Allah:

أَلَمْ تَرَ إِلَى الْمَلإِ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ بَعْدِ مُوسَى

Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah Nabi Musa, 

إِذْ قَالُوا لِنَبِيٍّ لَهُمُ ابْعَثْ لَنَا مَلِكًا إِذْ قَالُوا لِنَبِيٍّ لَهُمُ ابْعَثْ لَنَا مَلِكًا نُقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللهِ

yaitu ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka: "Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah".

Terdapat perbedaan pendapat ahli tafsir tentang nama nabi yang dimaksud. Ada yang mengatakan "Yusa' bin Nun". Yang lain berpendapat "Sam'un". Dan ada pula yang mengatakan "Samuel". Wallau a'lam!

Peristiwa itu terjadi ketika mereka terusir dari Palestina dan ditindas oleh pengusa zalim yang menyembah berhala, bernama Jalut. Jalut mempu-nyai bala tentara yang sangat besar.

Menanggapi permohonan pemuka Bani Israil yang meminta, diangkatnya seorang raja yang memimpin mereka berperang di jalan Allah ini, maka:

قَالَ هَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ أَلاَّ تُقَاتِلُوا

Nabi mereka menjawab: "Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang."

Jadi Nabi mereka mempertanyakan kesungguhan hati mereka, sebelum memperkenankan permohonan mereka itu.

Dengan semangat menggebu-gebu, yang di-sertai dengan alasan dan argumentasi meyakinkan mereka menanggapi:

قَالُوا وَمَا لَنَا أَلاَّ نُقَاتِلَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَقَدْ أُخْرِجْنَا مِنْ دِيَارِنَا وَأَبْنَائِنَا

Mereka menjawab: "Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari kampung halaman kami dan dari anak-anak kami?"

Inilah landasan yang terkuat untuk melakukan perang di jalan Allah… Perang bertujuan untuk mempertahankan agama Allah, membela diri, melawan kezaliman, pengusiaran dan penindasan yang menyengsarakan keluarga dan anak-anak…

Realitas belakangan jauh sekali dari yang diharapkan. Ternyata perbuatan mereka tidak sejalan dengan yang mereka ucapkan:

فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ تَوَلَّوْا إِلاَّ قَلِيلاً مِنْهُمْ وَاللهُ عَلِيمٌ بِالظَّالِمِينَ (246)

Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, mereka pun berpaling, kecuali beberapa orang saja di antara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang zalim. (246)

Kemudian kita diajak untuk memperhatikan dengan kacamata iman, bagaimana sikap mereka yang tidak konsisten:

وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ اللهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوتَ مَلِكًا

Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesung-guhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu".

Apakah keputusan ini mereka terima dengan dada lapang?

Ternyata tidak!

قَالُوا أَنَّى يَكُونُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِنَ الْمَالِ

Mereka menjawab: "Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang banyak?"

Suatu penilaian yang materialistis yang sama sekali bertentangan dengan iman. Dimana kekaya-an materil dijadikan tolok ukur dalam mengangkat seorang raja, atau kepala pemerintahan… 

قَالَ إِنَّ اللهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ

(Nabi mereka) berkata: "Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahi-nya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa." 

وَاللهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ(247)

Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui. (247)

Dengan tegas dapatlah disimpulkan alasan pengangkatan Thalut menjadi raja (1) karena ia dipilih Allah (2) karena ilmunya luas (3) karena badannya sehat dan kuat.

Penjelasan ini diiringi dengan penjelasan tentang tanda-tanda:

وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ ءَايَةَ مُلْكِهِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ التَّابُوتُ

Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu,

Tabut adalah kotak tempat penyimpanan Nas-kah Taurat yang diberikan Allah kepada Musa, yang telah lama hilang dari mereka.

فِيهِ سَكِينَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَبَقِيَّةٌ مِمَّا تَرَكَ ءَالُ مُوسَى وَءَالُ هَارُونَ

di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; 

تَحْمِلُهُ الْمَلاَئِكَةُ

tabut itu dibawa oleh Malaikat.

إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَةً لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ(248)

Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman. (248)

Tanda-tanda yang disebutkan itu sudah cukup bagi mereka untuk menerima Thalut menjadi raja, jika mereka adalah orang-orang beriman…

Episode berikutnya menggambarkan bentuk ujian yang mereka jalani dalam berjihad...

فَلَمَّا فَصَلَ طَالُوتُ بِالْجُنُودِ قَالَ إِنَّ اللهَ مُبْتَلِيكُمْ بِنَهَرٍ

Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata: "Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai.

Thalut berangkat bersama pasukannya, dan pemimpin Bani Israil yang setia kepadanya ke medan perang. Menurut As-Suddi; sebanyak delapan puluh ribu pasukan. Pada waktu itulah ia mengatakan: "Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai.". Menurut Ibnu Abbas dan lain-lain: Yaitu sebuah sungai yang terletak antara Yordania dengan Palestina, yakni; sungai As-Syari'ah (sungai Yordania) yang masyhur.

فَمَنْ شَرِبَ مِنْهُ فَلَيْسَ مِنِّي

Maka siapa di antara kamu meminum airnya, bukanlah ia pengikutku. 

وَمَنْ لَمْ يَطْعَمْهُ فَإِنَّهُ مِنِّي إِلاَّ مَنِ اغْتَرَفَ غُرْفَةً بِيَدِهِ 

Dan barangsiapa tiada meminumnya, kecuali menceduk seceduk tangan, maka ia adalah pengikutku." 

فَشَرِبُوا مِنْهُ إِلاَّ قَلِيلاً مِنْهُمْ

Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka.

Menurut As-Suddi: Jumlah pasukan sebanyak delapan puluh ribu orang. Yang melakukan pelanggaran tujuh puluh enam ribu. Dan yang tersisa bersama Thalut empat ribu orang saja.

فَلَمَّا جَاوَزَهُ هُوَ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا مَعَهُ

Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah menyeberangi sungai itu, 

قَالُوا لاَ طَاقَةَ لَنَا الْيَوْمَ بِجَالُوتَ وَجُنُودِهِ

orang-orang yang telah minum berkata: "Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya."

Mereka tidak sanggup lagi untuk maju ke medan perang…

Tetapi mereka yang beriman dan telah lulus ujian, sama sekali tidak gentar, dan mereka yakin akan pertolongan Allah:

قَالَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلاَقُو اللهِ كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللهِ

Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata: "Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah.

Kemenangan tidak terletak pada jumlah pasukan yang banyak. Tetapi tergantung kepada pasukan yang bermutu… Itulah pasukan yang beriman dan sabar…

وَاللهُ مَعَ الصَّابِرِينَ(249)

Dan Allah beserta orang-orang yang sabar." (249) 

Episode berikut menggambarkan keteguhan iman dan keberanian Thalut bersama bala tentara-nya, setelah mereka berhadapan dengan pasukan Jalut yang sangat besar… Dengan iman yang mantap dan penyerahan diri yang bulat mereka berdo'a kepada Allah:

وَلَمَّا بَرَزُوا لِجَالُوتَ وَجُنُودِهِ قَالُوا رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

Tatkala mereka nampak oleh Jalut dan tentaranya, merekapun (Thalut dan tentaranya) berdo`a: "Ya Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir". (250)

Pada akhirnya pasukan Thalut berhasil mengalahkan pasukan Jalut dengan izin Allah:

فَهَزَمُوهُمْ بِإِذْنِ اللهِ

Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan (dalam peperangan itu)

Nabi Daud yang masih muda beliau termasuk anggota pasukan Thalut, berhasil membunuh Jalut dengan pelontar yang ada di tangannya.

وَقَتَلَ دَاوُدُ جَالُوتَ

Daud membunuh Jalut,

Setelah Thalut meninggal maka Allah mem-berikan pemerintahan dan hikmah kepada Daud:

وَءَاتَاهُ اللهُ الْمُلْكَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَهُ مِمَّا يَشَاءُ

kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud) pemerintahan dan hikmah, (sesudah meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya.

Di penghujung kisah Bani Israil ini Allah SWT memaparkan hikmah disyari'atkan peperangan, yaitu; dalam rangka menjaga keseimbangan bumi dari kerusakan:

وَلَوْلاَ دَفْعُ اللهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَفَسَدَتِ الأَرْضُ

Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) seba-hagian manusia dengan sebahagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. 

وَلَكِنَّ اللهَ ذُو فَضْلٍ عَلَى الْعَالَمِينَ(251)

Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurah-kan) atas semesta alam. (251)

تِلْكَ ءَايَاتُ اللهِ نَتْلُوهَا عَلَيْكَ بِالْحَقِّ وَإِنَّكَ لَمِنَ الْمُرْسَلِينَ (252)

Itu adalah ayat-ayat Allah. Kami bacakan kepada-mu dengan hak (benar) dan sesungguhnya kamu benar-benar salah seorang di antara nabi-nabi yang diutus. (252)

Jadi, ayat-ayat Al-Quran ini bukanlah gubahan Muhammad. Tetapi wahyu yang diturunkan Allah SWT… Dan Muhammad SAW adalah salah seorang di antara rasul-rasul Allah SWT.
Dengan berakhirnya uraian ayat 252 surat Al-Baqarah ini, berakhirlah sudah Terjemah dan Uraian Al-Quran Juz II. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan taufiq dan hidayaNya kepada kita bersama.  
Walhamdulillaahi rabbil 'aalamiin.
 
Ujung Gading, Senin, 17 Jamadal Akhir 1427 H /15 Mei 2006 M. 

Sabtu, 29 Agustus 2015

TERJEMAHAN SURAT AL-BAQARAH AYAT 221 SD 242



POKOK-POKOK HUKUM PERKAWINAN, THALAK DAN PENYUSUAN 
(Bagian 4)



Ayat berikut membincang tentang tanggung jawab ibu bapak dalam memelihara dan mem-besarkan anak-anaknya setelah terjadi perceraian:

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh,

لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ

yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.

Jadi perceraian tidak boleh mengakibatkan anak-anak terlantar, karena bagaimanapun putusnya hubungan antara suami dengan isteri, namun hubungan antara anak-anak dengan orang tuanya sama sekali tidaklah putus… Hanya saja di dalam memberi nafkah atau perbelanjaan hidup, maka ayahlah yang bertanggung jawab.

Kedua ibu bapak yang mereka telah bercerai, sama-sama tetap bertanggung jawab dalam membesarkan dan mendidik anak, seperti sabda Rasulullah SAW:

حَدَّثَنَا عَبْدَانُ أَخْبَرَنَا عَبْدُاللهِ أَخْبَرَنَا يُونُسُ عَنِ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِالرَّحْمَنِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِي الله عَنْه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلاَّ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ ثُمَّ يَقُولُ ( فِطْرَةَ اللهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لاَ تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ ) (البخارى/كتاب تفسير القرآن/ 4403)

"Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah SAW telah bersabda: "Tidak seorangpun anak yang lahir, melainkan dilahirkan di atas fithrah (suci dari dosa/ menerima agama Islam), maka kedua ibu bapaknyalah yang akan meyahudikannya, atau menashranikannya, atau akan memajusikannya. Seperti hewan ternak menghasilkan hewan ternak seluruhnya, apakah kalian merasa ada yang buntung padanya? Kemudian beliau SAW membaca firman Allah: "(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (Ar-Rum: 30)

Sang ibu seharusnya menyusukan anak selama dua tahun. Hal ini disebutkan pula pada surat Luqman ayat 14:

وَوَصَّيْنَا الإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ(14)

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.(Q.S. Luqman: 14)

Meskipun terjadi perceraian, tetapi anak-anak masih berada dalam pengasuhan ibunya, maka ayah anak-anak atau bekas suami ibu anak-anak itu, wajib memberi makan dan pakaian kepada para ibu yang menyusukan anaknya dengan cara yang baik.

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma`ruf.

لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا

Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.

Tidak boleh bagi masing-masing pihak; ayah dan ibu, menjadikan anaknya sebagai sebab untuk memudharatkan yang lain… Ibu yang menyusu-kan anaknya jangan sampai dibiarkan sengsara oleh seorang ayah, atau seorang ayah dibebani diluar batas kesanggupannya…

لاَ تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلاَ مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ

Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya,

Ahli waris juga mempunyai kewajiban yang sama… Mereka bertanggung jawab memberi makanan dan pakaian kepada wanita yang menyusukan anak dari keluarga mereka, yang telah tiada:

وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ

dan warispun berkewajiban demikian.

Jika ayah dan ibu, atau ibu dengan waris, sepakat untuk menyapih anak sebelum sampai umur dua tahun, karena masing-masing melihat ada sebab-sebab kemaslahatan yang bersangkutan dengan kesehatan, atau lainnya pada anak tersebut…, maka tidak berdosa bagi mereka. Dan dengan bermusyawarah memberi biaya perawatan anak kepada ibunya… 

فَإِنْ أَرَادَا فِصَالاً عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا

Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusya-waratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.

Tetapi apabila ada hal-hal yang tidak memungkinkan bagi ibu untuk menyusukan dan merawat, anak-anaknya, maka ayah dibenarkan mengupah orang lain:

وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلاَدَكُمْ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا ءَاتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ

Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.

وَاتَّقُوا اللهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (233)

Jika seseorang meninggal dunia, dan ia meninggalkan isteri, maka iddah isteri yang dicerai mati adalah sebagai berikut:

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا

Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber`iddah) empat bulan sepuluh hari.

فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ

Kemudian apabila telah habis `iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut.

وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (234)

Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.(234)

Ibnu Katsir mengomentari:

Inilah perintah Allah terhadap wanita yang ditinggal mati oleh suaminya bahwa iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari. Hukum ini mencakup semua isteri baik yang telah digaulinya, maupun yang belum digaulinya, berdasarkan ijma'.  Dan termasuknya wanita yang belum digauli adalah karena umumnya ayat, dan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Ahlus Sunan dan dishahehkan oleh At-Turmudzi bahwa Ibnu Mas'ud ditanya orang tentang seorang laki-laki yang menikahi seorang wanita, lalu meninggal dunia, dan dia belum menggaulinya, dan mereka tidak memberi bagian (mas kawin dan harta warisan) kepadanya. Mereka mengulang-ulangi pertanyaan ini kepadanya berkali-kali. Lalu Ibnu Mas'ud berkata: "Aku mengucapkan tentang wanita itu pendapat pribadiku. Jika benar, maka ia adalah dari Allah, dan jika salah, maka kesalahan itu dariku dan dari syaithan. Allah dan dan RasulNya terlepas darinya:  Wanita itu berhak mendapat maskawinnya secara penuh". Dalam satu versi: "Ia berhak menerima maskawinnya seperti (yang ditetapkan)nya, tidak kurang dan tidak lebih, ia mempunyai iddah, dan ia berhak menerima warisan". Lantas Mi'qal bin Yasar Al-Asyja'I berdiri, lalu berkata: "Aku telah mendengar Rasulullah SAW, telah memutuskan putusan demikian dalam kasus Buru' binti Wasyiq", maka bukan main gembiranya Abdullah lantaran demikian. Dalam versi lain: "Lalu berdiri beberapa orang dari suku Asyja', maka mereka berkata: "Kami bersaksi bahwa Rasulullah SAW telah memutuskan putusan yang sama dalam kasus Buru' binti Wasiq.

Jadi tidak keluar dari ketentuan hukum demikian selain dari wanita yang ditinggal mati suami dalam keadaan hamil. Maka iddahnya adalah sampai melahirkan, walaupun sesa'at setelah ditinggal mati, karena umumnya firman Allah "وَأُولاَتُ اْلأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ (Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.(At-Thalaq: 1)".

Ibnu Abbas berpendapat: Ia harus menunggu waktu yang lebih panjang dari melahirkan atau empat bulan sepuluh hari, karena terhimpun antara kedua ayat ini. Ini adalah pengambilan yang baik dan jalan yang paling kuat, kalau saja tidak ada ketetapan sunnah di dalam hadits Subai'ah Al-Aslami, yang dikeluarkan di dalam Shaheh Al-Bukhari dan Muslim, melalui beberapa bentuk riwayat, bahwa: "Suaminya Sa'ad bin Khaulah meninggal dunia, dan dia dalam keadaan hamil. Tidak lama berselang, iapun melahirkan setelah wafat suaminya." Dalam suatu versi "maka dia melahirkan kandungannya setelah beberapa malam. Maka setelah habis nifasnya, iapun berhias diri untuk dipinang. Lalu masuk kepadanya Abussanabil bin Ba'kak, maka ia berkata kepadanya: "Aku lihat engkau berhias diri, barangkali engkau menginginkan pernikahan lagi? Demi Allah, Engkau tidak boleh menikah sehingga habis bagimu empat bulan sepuluh hari." Subai'ah berkata: "Maka setelah ia berkata demikian kepadaku, aku kumpulkan pakaianku, sehingga sorenya, aku datangi Rasulullah SAW, lalu aku bertanya kepada beliau tentang demikian. Maka beliau SAW berfatwa kepadaku, bahwa halal bagimu (berhias) setelah aku melahirkan, dan beliau SAW menyuruh aku menikah, jika ada (yang ingin menikahi)."

Abu Umar bin Abdul Barr berkata: Diriwayat-kan bahwa Ibnu Abbas merujuk kepada hadits Subai'ah, yakni, sebagai dasar argumentasinya. Ia berkata: Sebagai menshahehan yang demikian daripadanya, bahwa sahabat-sahabatnya, mereka berfatwa dengan hadits Subai'ah, sebagaimana diucapkan oleh seluruh ahli ilmu…

Kemudian penjelasan ayat ditujukan kepada laki-laki yang ingin menikahi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya… Mengarahkan mereka untuk menjaga kesopanan diri, sopan santun bermasyarakat, memelihara perasaan dan keinginan dengan sebaik-baiknya:

وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ

Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu.

Jadi meskipun ada dalam diri laki-laki keinginan untuk meminang wanita yang ditinggal mati suaminya ini, maka selama dalam iddah tidak boleh baginya meminang dengan berterus terang… Atau sebaiknya ia menyembunyikan perasaannya itu di dalam hati…

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa sindiran misalnya mengatakan: "Aku ingin menikah. Dan sungguh aku membutuhkan isteri. Sungguh aku menginginkan, semoga dimudahkan bagiku mendapat isteri yang shalehah." (Ditakhrij-kan oleh Al-Bukhari)

عَلِمَ اللهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَكِنْ لاَ تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلاَّ أَنْ تَقُولُوا قَوْلاً مَعْرُوفًا

Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma`ruf.

وَلاَ تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ

Dan janganlah kamu ber`azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis `iddahnya.

وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ (235)

Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (235)

Setelah itu datanglah penjelasan tentang hukum wanita yang dithalak sebelum dicampuri. Dan sebelum ditentukan maharnya:

لاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً

Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya.

Di sini suami tidak wajib membayar mahar bagi isteri yang ia ceraikan sebelum ia campuri, atau sebelum ditentukan maharnya… Tetapi ia wajib memberikan mut'ah (pemberian) kepadanya, sesuai dengan kemampuannya.

وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ (236)

Dan hendaklah kamu berikan suatu mut`ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupa-kan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan. (236)

Kalau suami menceraikan isteri sebelum dicampurinya, tetapi setelah ditentukan mahar-nya, maka suami berkewajiban membayar separoh dari maharnya… Kecuali sang isteri mema'afkan:

وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ

Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesung-guhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu,

إِلاَّ أَنْ يَعْفُونَ

kecuali jika isteri-isterimu itu mema`afkan

أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ

atau dima`afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah,

وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى

dan pema`afan kamu itu lebih dekat kepada takwa.

وَلاَ تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ إِنَّ اللهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ(237)

Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan. (237)

 Di sela-sela penjelasan hukum tentang perkawinan ini, maka Allah SWT, memerintahkan untuk menjaga shalat tepat pada waktunya, dan melaksanakan ketentuan pelaksanaan, atau syarat dan rukunnya.

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاَةِ الْوُسْطَى

Peliharalah segala shalat (mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa.

Adapun pengertian shalat wusthaa, menurut pendapat yang terkuat dari himpunan berbagai riwayat adalah "shalat 'ashar", karena sabda Rasulullah SAW pada waktu pertempuran Ahzab (Khandaq): "Mereka telah menyibukkan kita dari shalat wusha, shalat ashar. Semoga Allah memenuhi hati dan rumah mereka dengan api" (HR. Muslim). Pengkhususan menyebutkannya di sini, barang-kali, karena waktunya datang setelah tidur siang, yang kadang-kadang melalaikan orang mengerja-kan shalat.

وَقُومُوا ِللهِ قَانِتِينَ (238)

Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu`. (238)

Tetapi kalau dalam keadaan takut, maka boleh mendirikan shalat sambil berjalan atau berkenderaan:

فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالاً أَوْ رُكْبَانًا

Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan.

Beginilah Islam memberikan kelapangan bagi ummatnya untuk melaksanakan shalat… Sebagai sistem peribadatan yang terpenting dalam Islam shalat wajib didirikan, bagaimanapun keadaannya.

Pelaksanaan shalat berjamaah dalam keadaan takut pada waktu perang dinyatakan Allah SWT melalui firmanNya dalam surat An-Nisak ayat 102:

وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاَةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِنْ وَرَائِكُمْ وَلْتَأْتِ طَائِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ وَدَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ تَغْفُلُونَ عَنْ أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُمْ مَيْلَةً وَاحِدَةًوَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ كَانَ بِكُمْ أَذًى مِنْ مَطَرٍ أَوْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَنْ تَضَعُوا أَسْلِحَتَكُمْ وَخُذُوا حِذْرَكُمْ إِنَّ اللَّهَ أَعَدَّ لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا(102)

"Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempur-nakan seraka`at), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap-siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu."

Dispensasi shalat dalam keadaan berjalan atau berkenderaan ini, tidak berlaku lagi bila telah aman:

فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَاذْكُرُوا اللهَ كَمَا عَلَّمَكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ (239)

Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. (239)

Jadi, apabila keadaan aman maka hendaklah mengerjakan shalat dengan memenuhi syarat dan rukun yang telah ditetapkan. Seperti berdiri betul, menghadap Kiblat dan lain sebagainya.

Setelah membicarakan tentang pelaksanaan shalat dalam keadaan takut (bahaya), maka ayat berikutnya, menetapkan tentang hak seorang suami yang berwasiat, sewaktu akan meninggal dunia untuk isterinya, yaitu; diberi nafkah selama setahun dari harta yang ditinggalkannya, dengan tidak disuruh pindah dari rumahnya…

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً ِلأَزْوَاجِهِمْ

Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya,

مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ

(yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya).

فَإِنْ خَرَجْنَ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِي مَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ مِنْ مَعْرُوفٍ

Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma`ruf terhadap diri mereka.

وَاللهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (240)

Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (240)

Adapun tentang sebab turun ayat, menurut riwayat yang disampaikan oleh Ishaq bin Rahawaih dalam Tafsirnya yang bersumber dari Muqatil Ibnu Hibban, bahwa: Seorang laki-laki dari Thaif datang ke Madinah bersama anak dan kedua orang tuanya, yang kemudian meninggal dunia di sana. Hal ini disampaikan kepada Nabi SAW. Beliau membagikan harta peninggalannya kepada anak-anak dan ibu bapaknya, sedang isterinya tidak diberi bagian, hanya mereka yang diberi bagian diperintahkan untuk memberi belanja kepadanya dari harta peninggalan suaminya itu selama setahun. Maka turunlah ayat 240 di atas yang membenarkan tindakan Rasulullah SAW untuk memberi nafkah selama setahun kepada isteri yang ditinggal mati oleh suaminya. Peristiwa ini terjadi sebelum turun ayat tentang hukum warisan.

Menurut mayoritas ahli tafsir ayat 240 ini, dinasakhkan dengan ayat sebelumnya yaitu "Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber`iddah) empat bulan sepuluh hari.(ayat 234)" dan dengan ayat tentang warisan, yang menerangkan bagian untuk isteri "وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ (Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu.) (Surat An-Nisak ayat: 12)

Ayat berikutnya membicarakan tentang mut'ah, yaitu: suatu pemberian dari suami kepada isterinya sewaktu ia menceraikannya. Pemberian itu diwajibkan atas laki-laki apabila perceraian itu terjadi karena kehendak suami. Tetapi kalau perceraian itu kehendak isteri, pemberian itu tidak wajib.

وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ

Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut`ah menurut yang ma`ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang takwa. (241)

Tentang mut'ah ini, Allah berfirman pada ayat lain:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلاً(49)

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka `iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya, Maka berilah mereka mut`ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya." (Q.S. Al-Ahzab: 49)

Allah SWT selanjutnya berfirman:

كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ (242)

Demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya) supaya kamu memahaminya. (242)

Demikianlah Allah menerangkan ketentuan hukum-hukumNya supaya kamu memahami dan mendalami maksudnya. Yang demikian kamu akan selamat menempuh kehidupan dunia dan akhirat.