Sabtu, 29 Agustus 2015

TERJEMAHAN SURAT AL-BAQARAH AYAT 221 SD 242



POKOK-POKOK HUKUM PERKAWINAN, THALAK DAN PENYUSUAN 
(Bagian 4)



Ayat berikut membincang tentang tanggung jawab ibu bapak dalam memelihara dan mem-besarkan anak-anaknya setelah terjadi perceraian:

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh,

لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ

yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.

Jadi perceraian tidak boleh mengakibatkan anak-anak terlantar, karena bagaimanapun putusnya hubungan antara suami dengan isteri, namun hubungan antara anak-anak dengan orang tuanya sama sekali tidaklah putus… Hanya saja di dalam memberi nafkah atau perbelanjaan hidup, maka ayahlah yang bertanggung jawab.

Kedua ibu bapak yang mereka telah bercerai, sama-sama tetap bertanggung jawab dalam membesarkan dan mendidik anak, seperti sabda Rasulullah SAW:

حَدَّثَنَا عَبْدَانُ أَخْبَرَنَا عَبْدُاللهِ أَخْبَرَنَا يُونُسُ عَنِ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِالرَّحْمَنِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِي الله عَنْه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلاَّ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ ثُمَّ يَقُولُ ( فِطْرَةَ اللهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لاَ تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ ) (البخارى/كتاب تفسير القرآن/ 4403)

"Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah SAW telah bersabda: "Tidak seorangpun anak yang lahir, melainkan dilahirkan di atas fithrah (suci dari dosa/ menerima agama Islam), maka kedua ibu bapaknyalah yang akan meyahudikannya, atau menashranikannya, atau akan memajusikannya. Seperti hewan ternak menghasilkan hewan ternak seluruhnya, apakah kalian merasa ada yang buntung padanya? Kemudian beliau SAW membaca firman Allah: "(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (Ar-Rum: 30)

Sang ibu seharusnya menyusukan anak selama dua tahun. Hal ini disebutkan pula pada surat Luqman ayat 14:

وَوَصَّيْنَا الإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ(14)

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.(Q.S. Luqman: 14)

Meskipun terjadi perceraian, tetapi anak-anak masih berada dalam pengasuhan ibunya, maka ayah anak-anak atau bekas suami ibu anak-anak itu, wajib memberi makan dan pakaian kepada para ibu yang menyusukan anaknya dengan cara yang baik.

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma`ruf.

لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا

Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.

Tidak boleh bagi masing-masing pihak; ayah dan ibu, menjadikan anaknya sebagai sebab untuk memudharatkan yang lain… Ibu yang menyusu-kan anaknya jangan sampai dibiarkan sengsara oleh seorang ayah, atau seorang ayah dibebani diluar batas kesanggupannya…

لاَ تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلاَ مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ

Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya,

Ahli waris juga mempunyai kewajiban yang sama… Mereka bertanggung jawab memberi makanan dan pakaian kepada wanita yang menyusukan anak dari keluarga mereka, yang telah tiada:

وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ

dan warispun berkewajiban demikian.

Jika ayah dan ibu, atau ibu dengan waris, sepakat untuk menyapih anak sebelum sampai umur dua tahun, karena masing-masing melihat ada sebab-sebab kemaslahatan yang bersangkutan dengan kesehatan, atau lainnya pada anak tersebut…, maka tidak berdosa bagi mereka. Dan dengan bermusyawarah memberi biaya perawatan anak kepada ibunya… 

فَإِنْ أَرَادَا فِصَالاً عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا

Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusya-waratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.

Tetapi apabila ada hal-hal yang tidak memungkinkan bagi ibu untuk menyusukan dan merawat, anak-anaknya, maka ayah dibenarkan mengupah orang lain:

وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلاَدَكُمْ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا ءَاتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ

Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.

وَاتَّقُوا اللهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (233)

Jika seseorang meninggal dunia, dan ia meninggalkan isteri, maka iddah isteri yang dicerai mati adalah sebagai berikut:

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا

Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber`iddah) empat bulan sepuluh hari.

فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ

Kemudian apabila telah habis `iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut.

وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (234)

Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.(234)

Ibnu Katsir mengomentari:

Inilah perintah Allah terhadap wanita yang ditinggal mati oleh suaminya bahwa iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari. Hukum ini mencakup semua isteri baik yang telah digaulinya, maupun yang belum digaulinya, berdasarkan ijma'.  Dan termasuknya wanita yang belum digauli adalah karena umumnya ayat, dan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Ahlus Sunan dan dishahehkan oleh At-Turmudzi bahwa Ibnu Mas'ud ditanya orang tentang seorang laki-laki yang menikahi seorang wanita, lalu meninggal dunia, dan dia belum menggaulinya, dan mereka tidak memberi bagian (mas kawin dan harta warisan) kepadanya. Mereka mengulang-ulangi pertanyaan ini kepadanya berkali-kali. Lalu Ibnu Mas'ud berkata: "Aku mengucapkan tentang wanita itu pendapat pribadiku. Jika benar, maka ia adalah dari Allah, dan jika salah, maka kesalahan itu dariku dan dari syaithan. Allah dan dan RasulNya terlepas darinya:  Wanita itu berhak mendapat maskawinnya secara penuh". Dalam satu versi: "Ia berhak menerima maskawinnya seperti (yang ditetapkan)nya, tidak kurang dan tidak lebih, ia mempunyai iddah, dan ia berhak menerima warisan". Lantas Mi'qal bin Yasar Al-Asyja'I berdiri, lalu berkata: "Aku telah mendengar Rasulullah SAW, telah memutuskan putusan demikian dalam kasus Buru' binti Wasyiq", maka bukan main gembiranya Abdullah lantaran demikian. Dalam versi lain: "Lalu berdiri beberapa orang dari suku Asyja', maka mereka berkata: "Kami bersaksi bahwa Rasulullah SAW telah memutuskan putusan yang sama dalam kasus Buru' binti Wasiq.

Jadi tidak keluar dari ketentuan hukum demikian selain dari wanita yang ditinggal mati suami dalam keadaan hamil. Maka iddahnya adalah sampai melahirkan, walaupun sesa'at setelah ditinggal mati, karena umumnya firman Allah "وَأُولاَتُ اْلأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ (Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.(At-Thalaq: 1)".

Ibnu Abbas berpendapat: Ia harus menunggu waktu yang lebih panjang dari melahirkan atau empat bulan sepuluh hari, karena terhimpun antara kedua ayat ini. Ini adalah pengambilan yang baik dan jalan yang paling kuat, kalau saja tidak ada ketetapan sunnah di dalam hadits Subai'ah Al-Aslami, yang dikeluarkan di dalam Shaheh Al-Bukhari dan Muslim, melalui beberapa bentuk riwayat, bahwa: "Suaminya Sa'ad bin Khaulah meninggal dunia, dan dia dalam keadaan hamil. Tidak lama berselang, iapun melahirkan setelah wafat suaminya." Dalam suatu versi "maka dia melahirkan kandungannya setelah beberapa malam. Maka setelah habis nifasnya, iapun berhias diri untuk dipinang. Lalu masuk kepadanya Abussanabil bin Ba'kak, maka ia berkata kepadanya: "Aku lihat engkau berhias diri, barangkali engkau menginginkan pernikahan lagi? Demi Allah, Engkau tidak boleh menikah sehingga habis bagimu empat bulan sepuluh hari." Subai'ah berkata: "Maka setelah ia berkata demikian kepadaku, aku kumpulkan pakaianku, sehingga sorenya, aku datangi Rasulullah SAW, lalu aku bertanya kepada beliau tentang demikian. Maka beliau SAW berfatwa kepadaku, bahwa halal bagimu (berhias) setelah aku melahirkan, dan beliau SAW menyuruh aku menikah, jika ada (yang ingin menikahi)."

Abu Umar bin Abdul Barr berkata: Diriwayat-kan bahwa Ibnu Abbas merujuk kepada hadits Subai'ah, yakni, sebagai dasar argumentasinya. Ia berkata: Sebagai menshahehan yang demikian daripadanya, bahwa sahabat-sahabatnya, mereka berfatwa dengan hadits Subai'ah, sebagaimana diucapkan oleh seluruh ahli ilmu…

Kemudian penjelasan ayat ditujukan kepada laki-laki yang ingin menikahi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya… Mengarahkan mereka untuk menjaga kesopanan diri, sopan santun bermasyarakat, memelihara perasaan dan keinginan dengan sebaik-baiknya:

وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ

Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu.

Jadi meskipun ada dalam diri laki-laki keinginan untuk meminang wanita yang ditinggal mati suaminya ini, maka selama dalam iddah tidak boleh baginya meminang dengan berterus terang… Atau sebaiknya ia menyembunyikan perasaannya itu di dalam hati…

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa sindiran misalnya mengatakan: "Aku ingin menikah. Dan sungguh aku membutuhkan isteri. Sungguh aku menginginkan, semoga dimudahkan bagiku mendapat isteri yang shalehah." (Ditakhrij-kan oleh Al-Bukhari)

عَلِمَ اللهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَكِنْ لاَ تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلاَّ أَنْ تَقُولُوا قَوْلاً مَعْرُوفًا

Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma`ruf.

وَلاَ تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ

Dan janganlah kamu ber`azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis `iddahnya.

وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ (235)

Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (235)

Setelah itu datanglah penjelasan tentang hukum wanita yang dithalak sebelum dicampuri. Dan sebelum ditentukan maharnya:

لاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً

Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya.

Di sini suami tidak wajib membayar mahar bagi isteri yang ia ceraikan sebelum ia campuri, atau sebelum ditentukan maharnya… Tetapi ia wajib memberikan mut'ah (pemberian) kepadanya, sesuai dengan kemampuannya.

وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ (236)

Dan hendaklah kamu berikan suatu mut`ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupa-kan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan. (236)

Kalau suami menceraikan isteri sebelum dicampurinya, tetapi setelah ditentukan mahar-nya, maka suami berkewajiban membayar separoh dari maharnya… Kecuali sang isteri mema'afkan:

وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ

Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesung-guhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu,

إِلاَّ أَنْ يَعْفُونَ

kecuali jika isteri-isterimu itu mema`afkan

أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ

atau dima`afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah,

وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى

dan pema`afan kamu itu lebih dekat kepada takwa.

وَلاَ تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ إِنَّ اللهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ(237)

Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan. (237)

 Di sela-sela penjelasan hukum tentang perkawinan ini, maka Allah SWT, memerintahkan untuk menjaga shalat tepat pada waktunya, dan melaksanakan ketentuan pelaksanaan, atau syarat dan rukunnya.

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاَةِ الْوُسْطَى

Peliharalah segala shalat (mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa.

Adapun pengertian shalat wusthaa, menurut pendapat yang terkuat dari himpunan berbagai riwayat adalah "shalat 'ashar", karena sabda Rasulullah SAW pada waktu pertempuran Ahzab (Khandaq): "Mereka telah menyibukkan kita dari shalat wusha, shalat ashar. Semoga Allah memenuhi hati dan rumah mereka dengan api" (HR. Muslim). Pengkhususan menyebutkannya di sini, barang-kali, karena waktunya datang setelah tidur siang, yang kadang-kadang melalaikan orang mengerja-kan shalat.

وَقُومُوا ِللهِ قَانِتِينَ (238)

Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu`. (238)

Tetapi kalau dalam keadaan takut, maka boleh mendirikan shalat sambil berjalan atau berkenderaan:

فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالاً أَوْ رُكْبَانًا

Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan.

Beginilah Islam memberikan kelapangan bagi ummatnya untuk melaksanakan shalat… Sebagai sistem peribadatan yang terpenting dalam Islam shalat wajib didirikan, bagaimanapun keadaannya.

Pelaksanaan shalat berjamaah dalam keadaan takut pada waktu perang dinyatakan Allah SWT melalui firmanNya dalam surat An-Nisak ayat 102:

وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاَةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِنْ وَرَائِكُمْ وَلْتَأْتِ طَائِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ وَدَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ تَغْفُلُونَ عَنْ أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُمْ مَيْلَةً وَاحِدَةًوَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ كَانَ بِكُمْ أَذًى مِنْ مَطَرٍ أَوْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَنْ تَضَعُوا أَسْلِحَتَكُمْ وَخُذُوا حِذْرَكُمْ إِنَّ اللَّهَ أَعَدَّ لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا(102)

"Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempur-nakan seraka`at), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap-siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu."

Dispensasi shalat dalam keadaan berjalan atau berkenderaan ini, tidak berlaku lagi bila telah aman:

فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَاذْكُرُوا اللهَ كَمَا عَلَّمَكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ (239)

Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. (239)

Jadi, apabila keadaan aman maka hendaklah mengerjakan shalat dengan memenuhi syarat dan rukun yang telah ditetapkan. Seperti berdiri betul, menghadap Kiblat dan lain sebagainya.

Setelah membicarakan tentang pelaksanaan shalat dalam keadaan takut (bahaya), maka ayat berikutnya, menetapkan tentang hak seorang suami yang berwasiat, sewaktu akan meninggal dunia untuk isterinya, yaitu; diberi nafkah selama setahun dari harta yang ditinggalkannya, dengan tidak disuruh pindah dari rumahnya…

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً ِلأَزْوَاجِهِمْ

Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya,

مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ

(yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya).

فَإِنْ خَرَجْنَ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِي مَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ مِنْ مَعْرُوفٍ

Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma`ruf terhadap diri mereka.

وَاللهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (240)

Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (240)

Adapun tentang sebab turun ayat, menurut riwayat yang disampaikan oleh Ishaq bin Rahawaih dalam Tafsirnya yang bersumber dari Muqatil Ibnu Hibban, bahwa: Seorang laki-laki dari Thaif datang ke Madinah bersama anak dan kedua orang tuanya, yang kemudian meninggal dunia di sana. Hal ini disampaikan kepada Nabi SAW. Beliau membagikan harta peninggalannya kepada anak-anak dan ibu bapaknya, sedang isterinya tidak diberi bagian, hanya mereka yang diberi bagian diperintahkan untuk memberi belanja kepadanya dari harta peninggalan suaminya itu selama setahun. Maka turunlah ayat 240 di atas yang membenarkan tindakan Rasulullah SAW untuk memberi nafkah selama setahun kepada isteri yang ditinggal mati oleh suaminya. Peristiwa ini terjadi sebelum turun ayat tentang hukum warisan.

Menurut mayoritas ahli tafsir ayat 240 ini, dinasakhkan dengan ayat sebelumnya yaitu "Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber`iddah) empat bulan sepuluh hari.(ayat 234)" dan dengan ayat tentang warisan, yang menerangkan bagian untuk isteri "وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ (Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu.) (Surat An-Nisak ayat: 12)

Ayat berikutnya membicarakan tentang mut'ah, yaitu: suatu pemberian dari suami kepada isterinya sewaktu ia menceraikannya. Pemberian itu diwajibkan atas laki-laki apabila perceraian itu terjadi karena kehendak suami. Tetapi kalau perceraian itu kehendak isteri, pemberian itu tidak wajib.

وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ

Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut`ah menurut yang ma`ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang takwa. (241)

Tentang mut'ah ini, Allah berfirman pada ayat lain:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلاً(49)

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka `iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya, Maka berilah mereka mut`ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya." (Q.S. Al-Ahzab: 49)

Allah SWT selanjutnya berfirman:

كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ (242)

Demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya) supaya kamu memahaminya. (242)

Demikianlah Allah menerangkan ketentuan hukum-hukumNya supaya kamu memahami dan mendalami maksudnya. Yang demikian kamu akan selamat menempuh kehidupan dunia dan akhirat.

TERJEMAHAN SURAT AL-BAQARAH AYAT 221 SD 242


POKOK-POKOK HUKUM PERKAWINAN, THALAK DAN PENYUSUAN

(Bagian 3)



Adapun thalak yang bisa dirujuki itu hanyalah dua kali:

الطَّلاَقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ

Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma`ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.

"Ayat ini menghapuskan permasalahan yang terjadi di awal Islam dimana seorang suami lebih berhak merujuki isteri yang dithalaknya, meskipun dengan thalak seratus kali, selama masih dalam iddah… Perbuatan demikian adalah memudharatkan isteri, lalu Allah SWT membatasi thalak itu kepada tiga kali thalak saja, dan yang boleh untuk dirujuki adalah pada thalak pertama dan kedua. Sedang thalak tiga sama sekali tidak boleh dirujuki…", demikian pendapat Ulama tafsir.

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan, dengan jalur riwayat yang bersumber dari Hisyam bin 'Urwah dari bapalnya, bahwa seorang laki-laki berkata kepada isterinya: 'Aku tidak akan menceraikan kamu selamanya, dan aku tidak akan memberimu tempat untuk selamanya'. Isterinya berkata: "Bagaimana demikian?". Laki-laki berkata:  "Aku menthalakmu sehingga bila masa iddahmu hampir habis, aku merujuk-mu." Lalu wanita itu men-datangi Rasulullah SAW, lantas ia sebutkan yang demikian kepada beliau SAW… Maka turunlah firman Allah 'azzawajalla "ath-thalaaqu marrataani (thalak itu dua kali)…" (ayat 229 surat Al-Baqarah ini). Begitupun yang disebutkan oleh Ibnu Jarir di dalam Tafsirnya dari jalur Jarir bin Abdil Hamid dan Ibnu Idris.

Menurut versi lain, seorang laki-laki Anshar marah kepada isterinya, lalu berkata: "Demi Allah, aku tidak akan memberimu tempat tinggal dan tidak akan menceraikanmu", Isterinya berkata: "Bagaimana demikian?". Laki-laki berkata:  "Aku menthalakmu sehingga bila masa iddahmu hampir habis, aku merujuk-mu." Lalu wanita itu men-datangi Rasulullah SAW, lantas ia sebutkan yang demikian kepada beliau SAW… Maka turunlah firman Allah 'azza wa jalla "ath-thalaaqu marrataani (ayat 229 surat Al-Baqarah ini). Diriwayatkan oleh Abdu bin Hamid di dalam Tafsirnya , dari Ja'far bin 'Aun semua mereka dari Hisyam dari bapaknya.

وَلاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا ءَاتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا

Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka,

إِلاَّ أَنْ يَخَافَا أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللهِ

kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.

Jadi tidak halal bagi suami mengambil mas kawin, atau nafkah, atau apapun pemberian yang telah diberikannya kepada isteri selama mereka hidup berumah tangga, pada waktu ia mencerai-kan isteri itu… Kecuali, bila sang isteri merasa tidak tahan lagi hidup dengan suaminya itu, lalu dia meminta diceraikan.

فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللهِ

Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah,

Bila suasana antara suami isteri sedemikian rupa, maka dibolehkan melakukan "khulu'" (thalak tebus). Yaitu thalak yang diucapkan suami dengan pembayaran dari pihak isteri kepada suami".

فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ

maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.

Imam Malik meriwayatkan dalam kitabnya Al-Muwattha' bahwa:

حَدَّثَنِي يَحْيَى عَنْ مَالِك عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ عَمْرَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهَا أَخْبَرَتْهُ عَنْ حَبِيبَةَ بِنْتِ سَهْلٍ الأَنْصَارِيِّ أَنَّهَا كَانَتْ تَحْتَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ وَأَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ إِلَى الصُّبْحِ فَوَجَدَ حَبِيبَةَ بِنْتَ سَهْلٍ عِنْدَ بَابِهِ فِي الْغَلَسِ فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ هَذِهِ فَقَالَتْ أَنَا حَبِيبَةُ بِنْتُ سَهْلٍ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ مَا شَأْنُكِ قَالَتْ لاَ أَنَا وَلاَ ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ لِزَوْجِهَا فَلَمَّا جَاءَ زَوْجُهَا ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ قَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ حَبِيبَةُ بِنْتُ سَهْلٍ قَدْ ذَكَرَتْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَذْكُرَ فَقَالَتْ حَبِيبَةُ يَا رَسُولَ اللهِ كُلُّ مَا أَعْطَانِي عِنْدِي فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ خُذْ مِنْهَا فَأَخَذَ مِنْهَا وَجَلَسَتْ فِي بَيْتِ أَهْلِهَا (مالك / الموطأ/1033)

Habibah binti Sahal Al-Anshari adalah menjadi isteri Tsabit bin Qais bin Syimas. Rasululah SAW keluar pada suatu shubuh, maka beliau mendapati Habibah binti Sahal di samping pintu beliau dalam gelap shubuh itu. Lalu Rasulullah SAW bersabda: "Siapa ini?" Ia menjawab: "Aku Habibah binti Sahal!" Nabi SAW bersabda: "Ada apa denganmu?" Ia menjawab: "Saya tidak ingin lagi menjadi isteri Tsabit bin Qais". Maka setelah datang suaminya Tsabit bin Qais, Rasulullah SAW bersabda kepadanya: "Ini Habibah binti Sahal, telah menyebutkan maasya Allah yang disebutnya"…. Lantas Habibah berkata: Wahai Rasulullah, semua yang dia berikan padaku ada padaku. Maka Rasulullah SAW bersabda: "Ambillah darinya". Dia mengambil dari (isterinya) dan isterinya kembali pada keluarganya."

Imam Al-Bukhari meriwayatkan yang ber-sumber dari Ibnu Abbas, bahwa:

حَدَّثَنَا أَزْهَرُ بْنُ جَمِيلٍ حَدَّثَنَا عَبْدُالْوَهَّابِ الثَّقَفِيُّ حَدَّثَنَا خَالِدٌ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ مَا أَعْتِبُ عَلَيْهِ فِي خُلُقٍ وَلاَ دِينٍ وَلَكِنِّي أَكْرَهُ الْكُفْرَ فِي الإِسْلاَمِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ قَالَتْ نَعَمْ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْبَلِ الْحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً قَالَ أَبو عَبْد اللهِ لاَ يُتَابَعُ فِيهِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ (البخارى/ الطلاق/4867)

"Isteri Tsabit bin Qais mendatangi Nabi SAW lalu berkata: Wahai Rasulullah, Tsabit bin Qais tidaklah aku cela budi pekerti dan agamanya, tetapi aku membencihi kekufuran dalam Islam. Maka Rasulullah SAW bersabda: "Maukah kamu mengembalikan kebunnya? (dahulu kebun itulah sebagai maharnya). Ia berkata: "Mau!" Rasulullah SAW bersabda (kepada Tsabit): "Terimalah kebun itu, dan thalaklah ia satu kali thalak…"

تِلْكَ حُدُودُ اللهِ فَلاَ تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (229)

Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim. (229)
  
Selanjut diterangkan pula tentang status isteri setelah dithalak tiga kali:

فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ

Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.

Jadi, sang suami tidak dapat rujuk atau kembali menikah dengan bekas isteri yang telah dithalaknya tiga kali, kecuali bila bekas isterinya ini menikah pula dengan suami lain, serta sudah bercampur dengannya, lalu diceraikannya…

Menurut riwayat Ibnu Munzir yang ber-sumber dari Muqatil bin Hibban, bahwa turunnya ayat 230 surat Al-Baqarah ini berkaitan dengan pengaduan 'Aisyah binti Abdurrahman bin 'Atik kepada Rasulullah SAW, bahwa ia telah dithalak oleh suaminya yang kedua (Abdurrahman bin Zubair Al-Quradzi) dan akan kembali kepada suaminya yang pertama (Rifa'ah bin Wahab bin 'Atik) yang telah menthalak bain (thalak tiga kali) kepadanya. 'Aisyah berkata: "Abdurrahman bin Zubair telah menthalak saya sebelum menggauli. Apakah saya boleh kembali kepada suami yang pertama?" Nabi menjawab: "Tidak kecuali kamu telah digauli suamimu yang kedua".

فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللهِ

Kemudian jika suami yang lain itu menceraikan-nya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.

Tetapi perceraian dengan suami yang baru itu tidak boleh dimaksudkan untuk menghalalkan wanita ini bagi bekas suaminya yang terdahulu.

Rasulullah SAW bersabda:

حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنِ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللهِ الْمُحِلَّ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ (اللفظ لأحمد/ باقى المسند المكثرين/ 7937)

"Rasulullah SAW mengutuk Al-Muhallil (suami lain yang menghalalkan suami pertama untuk menikahi bekas isterinya yang telah dicerai tiga kali) dan Al-Muhallal lah (suami pertama)" (HR. Ahmad, An-Nasai dan At-Turmudzi)

وَتِلْكَ حُدُودُ اللهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ (230)

Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui. (230)

Suami sama sekali tidak dibenarkan untuk merujuk isterinya dengan maksud untuk meng-aniayai isterinya…

Dalam suatu riwayat oleh Ibnu Jarir dari Al-Aufi yang bersumber dari Ibnu Abbas dikemukakan, seorang laki-laki yang menceraikan isterinya, kemudian merujuknya sebelum habis iddahnya, terus menceraikannya lagi dengan maksud menyusahkannya dan mengikat isterinya agar tidak bisa menikah dengan orang lain. Maka turunlah ayat 231 surat Al-Baqarah ini.

Dalam riwayat lain oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari As-Suddi, bahwa turunnya ayat 231 ini berkenaan dengan Tsabit bin Yatsir Al-Anshari yang menthalak isterinya, dan setelah hampir iddahnya ia merujuk lagi dan men-ceraikannya lagi dengan maksud menyakiti isterinya.

Menurut versi lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Umar dalam Musnadnya yang ber-sumber dari Abu Dardak…. dan diriwayatkan pula oleh Ibnu Munzir yang bersumber dari Ubadah bin As-Shamit, dan jalur periwayatan yang lainnya, bahwa; seorang laki-laki menthalak isterinya, kemudian berkata: "Sebenarnya aku hanya bermain-main saja". Kemudian ia memerdekakan hambanya, tetapi tidak lama kemudian ia berkata: "Aku hanya bermain-main saja". Maka turunlah ayat 231 ini sebagai teguran atas perbuatan yang seperti itu.

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ

Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma`ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma`ruf (pula).

وَلاَ تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ

Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demi-kian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.

وَلاَ تَتَّخِذُوا ءَايَاتِ اللهِ هُزُوًا

Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah sebagai permainan.

وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ وَمَا أَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِنَ الْكِتَابِ وَالْحِكْمَةِ يَعِظُكُمْ بِهِ

Dan ingatlah ni`mat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab (Al-Qur'an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu.

وَاتَّقُوا اللهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (231)

Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (231)

Selanjutnya Allah SWT menghadapkan pembicaraan kepada para wali dari wanita yang telah dithalak suaminya dengan satu kali thalak atau dua kali thalak. Maka habis iddahnya. Kemudian bekas suaminya ini ingin kembali me-nikahinya. Wanita itupun menginginkan. Tetapi para wali wanita menghalanginya.

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ

Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis iddahnya,

فَلاَ تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ

maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma`ruf.

ذَلِكَ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ مِنْكُمْ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ

Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian.

ذَلِكُمْ أَزْكَى لَكُمْ وَأَطْهَرُ وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ (232)

Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (232)

Ali bin Abi Thalhah berkata yang bersumber dari Ibnu Abbas, ayat 232 ini turun berkenaan dengan seorang laki-laki yang menthalak isterinya satu atau dua kali thalak. Maka habislah iddahnya. Kemudian ia ingin menikahi atau kembali kepada bekas isterinya itu, dan bekas isterinyapun menyetujuinya. Namun para wali sang wanita menghalangi demikian. Maka Allah melarang perbuatan mereka yang menghalanginya.

Menurut versi lain bahwa ayat 232 ini diturunkan berkenaan dengan Ma'qil bin Yasar dan saudara perempuannya. Yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Abu Daud, At-Turmudzi dan lain-lain…. Ma'qil bin Yasar mengawinkan saudara perempuannya ini dengan seorang laki-laki muslim. Beberapa lama kemudian diceraikannya dengan satu kali thalak. Setelah habis iddahnya, mereka ingin kembali lagi. Maka datanglah laki-laki tadi bersama Umar bin Khattab untuk meminangnya. Ma'qil menanggapi: "Hai orang celaka putera orang celaka. Aku muliakan engkau dan aku kawin kau dengan saudara wanitaku, tetapi engkau ceraikan dia. Demi Allah, ia tidak akan aku kembalikan kepadamu". Maka turunlah ayat 232 ini yang melarang wali menghalangi hasrat perkawinan kedua orang itu. Ketika Ma'qil mendengar ayat itu, ia berkata: "Aku dengar dan aku ta'ati Tuahnku". Ia memanggil orang itu dan berkata: "Aku kawinkan engkau kepadanya dan aku mulaikan engkau." Iapun membayar kaffarat sumpahnya…"

Bertitik tolak dari penjelasan ayat, maka jelaslah bahwa seorang wanita tidak bisa menikahkan dirinya sendiri. Dan dalam perkawinan mesti ada wali", begitu diungkapkan oleh At-Turmudzi dan Ibnu Jarir. Seperti yang ditemui di dalam hadits:

حَدَّثَنَا جَمِيلُ بْنُ الْحَسَنِ الْعَتَكِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَرْوَانَ الْعُقَيْلِيُّ حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ حَسَّانَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ وَلاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا فَإِنَّ الزَّانِيَةَ هِيَ الَّتِي تُزَوِّجُ نَفْسَهَا (ابن ماجه/ النكاح/ 1872)

"Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lain, dan seorang wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri. Sesungguhnya wanita pezina dialah yang menikahkan dirinya sendiri."

حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَيَّانَ أَبُو خَالِدٍ حَدَّثَنَا حَجَّاجٌ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ (أحمد / باقي مسند الأنصار/25035)

"Tidak ada nikah kecuali dengan wali, sedangkan sulthan (pemerintah/ wali hakim) adalah wali orang yang tidak ada walinya."