POKOK-POKOK
HUKUM PERKAWINAN, THALAK DAN PENYUSUAN
(Bagian 4)
Ayat berikut membincang tentang tanggung jawab ibu bapak dalam
memelihara dan mem-besarkan anak-anaknya setelah terjadi perceraian:
وَالْوَالِدَاتُ
يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua
tahun penuh,
لِمَنْ
أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ
yaitu
bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.
Jadi perceraian
tidak boleh mengakibatkan anak-anak terlantar, karena bagaimanapun putusnya
hubungan antara suami dengan isteri, namun hubungan antara anak-anak dengan
orang tuanya sama sekali tidaklah putus… Hanya saja di dalam memberi nafkah
atau perbelanjaan hidup, maka ayahlah yang bertanggung jawab.
Kedua ibu bapak
yang mereka telah bercerai, sama-sama tetap bertanggung jawab dalam membesarkan
dan mendidik anak, seperti sabda Rasulullah SAW:
حَدَّثَنَا عَبْدَانُ أَخْبَرَنَا عَبْدُاللهِ أَخْبَرَنَا
يُونُسُ عَنِ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ
عَبْدِالرَّحْمَنِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِي الله عَنْه قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلاَّ يُولَدُ عَلَى
الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ
جَدْعَاءَ ثُمَّ يَقُولُ ( فِطْرَةَ اللهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لاَ
تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ ) (البخارى/كتاب تفسير
القرآن/ 4403)
"Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah SAW telah
bersabda: "Tidak seorangpun anak yang lahir, melainkan dilahirkan
di atas fithrah (suci dari dosa/ menerima agama Islam), maka kedua ibu
bapaknyalah yang akan meyahudikannya, atau menashranikannya, atau akan
memajusikannya. Seperti hewan ternak menghasilkan hewan ternak seluruhnya,
apakah kalian merasa ada yang buntung padanya? Kemudian beliau SAW membaca
firman Allah: "(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang
lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (Ar-Rum: 30)
Sang ibu seharusnya
menyusukan anak selama dua tahun. Hal ini disebutkan pula pada surat Luqman
ayat 14:
وَوَصَّيْنَا الإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ
وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ
إِلَيَّ الْمَصِيرُ(14)
Dan Kami
perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya
telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya
dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya
kepada-Kulah kembalimu.(Q.S. Luqman: 14)
Meskipun terjadi
perceraian, tetapi anak-anak masih berada dalam pengasuhan ibunya, maka ayah
anak-anak atau bekas suami ibu anak-anak itu, wajib memberi makan dan pakaian
kepada para ibu yang menyusukan anaknya dengan cara yang baik.
وَعَلَى
الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Dan
kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang
ma`ruf.
لاَ
تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا
Seseorang
tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
Tidak boleh bagi
masing-masing pihak; ayah dan ibu, menjadikan anaknya sebagai sebab untuk
memudharatkan yang lain… Ibu yang menyusu-kan anaknya jangan sampai dibiarkan
sengsara oleh seorang ayah, atau seorang ayah dibebani diluar batas kesanggupannya…
لاَ
تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلاَ مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ
Janganlah
seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena
anaknya,
Ahli waris juga
mempunyai kewajiban yang sama… Mereka bertanggung jawab memberi makanan dan
pakaian kepada wanita yang menyusukan anak dari keluarga mereka, yang telah
tiada:
وَعَلَى
الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ
dan
warispun berkewajiban demikian.
Jika ayah dan ibu,
atau ibu dengan waris, sepakat untuk menyapih anak sebelum sampai umur dua tahun,
karena masing-masing melihat ada sebab-sebab kemaslahatan yang bersangkutan
dengan kesehatan, atau lainnya pada anak tersebut…, maka tidak berdosa bagi
mereka. Dan dengan bermusyawarah memberi biaya perawatan anak kepada ibunya…
فَإِنْ
أَرَادَا فِصَالاً عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا
Apabila
keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusya-waratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.
Tetapi apabila ada
hal-hal yang tidak memungkinkan bagi ibu untuk menyusukan dan merawat,
anak-anaknya, maka ayah dibenarkan mengupah orang lain:
وَإِنْ
أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلاَدَكُمْ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا
سَلَّمْتُمْ مَا ءَاتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ
Dan jika
kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila
kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
وَاتَّقُوا
اللهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Bertakwalah
kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
(233)
Jika seseorang
meninggal dunia, dan ia meninggalkan isteri, maka iddah isteri yang dicerai
mati adalah sebagai berikut:
وَالَّذِينَ
يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ
أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
Orang-orang
yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah
para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber`iddah) empat bulan sepuluh hari.
فَإِذَا
بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ
بِالْمَعْرُوفِ
Kemudian
apabila telah habis `iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan
mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut.
وَاللهُ
بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (234)
Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat.(234)
Ibnu Katsir
mengomentari:
Inilah perintah
Allah terhadap wanita yang ditinggal mati oleh suaminya bahwa iddahnya adalah
empat bulan sepuluh hari. Hukum ini mencakup semua isteri baik yang telah
digaulinya, maupun yang belum digaulinya, berdasarkan ijma'. Dan termasuknya wanita yang belum digauli
adalah karena umumnya ayat, dan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Ahlus
Sunan dan dishahehkan oleh At-Turmudzi bahwa Ibnu Mas'ud ditanya orang tentang
seorang laki-laki yang menikahi seorang wanita, lalu meninggal dunia, dan dia
belum menggaulinya, dan mereka tidak memberi bagian (mas kawin dan harta
warisan) kepadanya. Mereka mengulang-ulangi pertanyaan ini kepadanya
berkali-kali. Lalu Ibnu Mas'ud berkata: "Aku mengucapkan tentang wanita
itu pendapat pribadiku. Jika benar, maka ia adalah dari Allah, dan jika salah,
maka kesalahan itu dariku dan dari syaithan. Allah dan dan RasulNya terlepas
darinya: Wanita itu berhak mendapat
maskawinnya secara penuh". Dalam satu versi: "Ia berhak menerima
maskawinnya seperti (yang ditetapkan)nya, tidak kurang dan tidak lebih, ia
mempunyai iddah, dan ia berhak menerima warisan". Lantas Mi'qal bin Yasar
Al-Asyja'I berdiri, lalu berkata: "Aku telah mendengar Rasulullah SAW,
telah memutuskan putusan demikian dalam kasus Buru'
binti Wasyiq", maka bukan main gembiranya Abdullah lantaran demikian.
Dalam versi lain: "Lalu berdiri beberapa orang dari suku Asyja', maka
mereka berkata: "Kami bersaksi bahwa Rasulullah SAW telah memutuskan
putusan yang sama dalam kasus Buru' binti
Wasiq.
Jadi tidak keluar
dari ketentuan hukum demikian selain dari wanita yang ditinggal mati suami
dalam keadaan hamil. Maka iddahnya adalah sampai melahirkan, walaupun sesa'at
setelah ditinggal mati, karena umumnya firman Allah "وَأُولاَتُ اْلأَحْمَالِ
أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ (Dan
perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya.(At-Thalaq: 1)".
Ibnu Abbas
berpendapat: Ia harus menunggu waktu yang lebih panjang dari melahirkan atau
empat bulan sepuluh hari, karena terhimpun antara kedua ayat ini. Ini adalah
pengambilan yang baik dan jalan yang paling kuat, kalau saja tidak ada
ketetapan sunnah di dalam hadits Subai'ah Al-Aslami, yang dikeluarkan di dalam
Shaheh Al-Bukhari dan Muslim, melalui beberapa bentuk riwayat, bahwa:
"Suaminya Sa'ad bin Khaulah meninggal dunia, dan dia dalam keadaan hamil.
Tidak lama berselang, iapun melahirkan setelah wafat suaminya." Dalam
suatu versi "maka dia melahirkan kandungannya setelah beberapa malam. Maka
setelah habis nifasnya, iapun berhias diri untuk dipinang. Lalu masuk kepadanya
Abussanabil bin Ba'kak, maka ia berkata kepadanya: "Aku lihat engkau
berhias diri, barangkali engkau menginginkan pernikahan lagi? Demi Allah,
Engkau tidak boleh menikah sehingga habis bagimu empat bulan sepuluh
hari." Subai'ah berkata: "Maka setelah ia berkata demikian kepadaku,
aku kumpulkan pakaianku, sehingga sorenya, aku datangi Rasulullah SAW, lalu aku
bertanya kepada beliau tentang demikian. Maka beliau SAW berfatwa kepadaku,
bahwa halal bagimu (berhias) setelah aku melahirkan, dan beliau SAW menyuruh
aku menikah, jika ada (yang ingin menikahi)."
Abu Umar bin Abdul
Barr berkata: Diriwayat-kan bahwa Ibnu Abbas merujuk kepada hadits Subai'ah,
yakni, sebagai dasar argumentasinya. Ia berkata: Sebagai menshahehan yang
demikian daripadanya, bahwa sahabat-sahabatnya, mereka berfatwa dengan hadits
Subai'ah, sebagaimana diucapkan oleh seluruh ahli ilmu…
Kemudian penjelasan
ayat ditujukan kepada laki-laki yang ingin menikahi wanita yang ditinggal mati
oleh suaminya… Mengarahkan mereka untuk menjaga kesopanan diri, sopan santun
bermasyarakat, memelihara perasaan dan keinginan dengan sebaik-baiknya:
وَلاَ
جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ
أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ
Dan
tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu
menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu.
Jadi meskipun ada
dalam diri laki-laki keinginan untuk meminang wanita yang ditinggal mati
suaminya ini, maka selama dalam iddah tidak boleh baginya meminang dengan
berterus terang… Atau sebaiknya ia menyembunyikan perasaannya itu di dalam
hati…
Diriwayatkan dari
Ibnu Abbas r.a. bahwa sindiran misalnya mengatakan: "Aku ingin menikah.
Dan sungguh aku membutuhkan isteri. Sungguh aku menginginkan, semoga dimudahkan
bagiku mendapat isteri yang shalehah." (Ditakhrij-kan oleh Al-Bukhari)
عَلِمَ
اللهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَكِنْ لاَ تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلاَّ
أَنْ تَقُولُوا قَوْلاً مَعْرُوفًا
Allah
mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah
kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar
mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma`ruf.
وَلاَ
تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ
Dan
janganlah kamu ber`azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis
`iddahnya.
وَاعْلَمُوا
أَنَّ اللهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ
غَفُورٌ حَلِيمٌ (235)
Dan
ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah
kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.
(235)
Setelah itu
datanglah penjelasan tentang hukum wanita yang dithalak sebelum dicampuri. Dan
sebelum ditentukan maharnya:
لاَ
جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ
تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً
Tidak
ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isterimu
sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya.
Di sini suami tidak
wajib membayar mahar bagi isteri yang ia ceraikan sebelum ia campuri, atau
sebelum ditentukan maharnya… Tetapi ia wajib memberikan mut'ah (pemberian)
kepadanya, sesuai dengan kemampuannya.
وَمَتِّعُوهُنَّ
عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ
حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ (236)
Dan
hendaklah kamu berikan suatu mut`ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu
menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu
pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupa-kan ketentuan bagi
orang-orang yang berbuat kebajikan. (236)
Kalau suami
menceraikan isteri sebelum dicampurinya, tetapi setelah ditentukan mahar-nya,
maka suami berkewajiban membayar separoh dari maharnya… Kecuali sang isteri
mema'afkan:
وَإِنْ
طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ
فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ
Jika
kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal
sesung-guhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar
yang telah kamu tentukan itu,
إِلاَّ
أَنْ يَعْفُونَ
kecuali
jika isteri-isterimu itu mema`afkan
أَوْ
يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ
atau
dima`afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah,
وَأَنْ
تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى
dan
pema`afan kamu itu lebih dekat kepada takwa.
وَلاَ
تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ إِنَّ اللهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ(237)
Dan
janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Melihat segala apa yang kamu kerjakan. (237)
Di sela-sela
penjelasan hukum tentang perkawinan ini, maka Allah SWT, memerintahkan untuk
menjaga shalat tepat pada waktunya, dan melaksanakan ketentuan pelaksanaan,
atau syarat dan rukunnya.
حَافِظُوا
عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاَةِ الْوُسْطَى
Peliharalah
segala shalat (mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa.
Adapun pengertian
shalat wusthaa, menurut pendapat yang terkuat dari himpunan berbagai riwayat
adalah "shalat 'ashar", karena sabda Rasulullah SAW pada waktu
pertempuran Ahzab (Khandaq): "Mereka telah menyibukkan kita dari
shalat wusha, shalat ashar. Semoga Allah memenuhi hati dan rumah mereka dengan
api" (HR. Muslim). Pengkhususan
menyebutkannya di sini, barang-kali, karena waktunya datang setelah tidur
siang, yang kadang-kadang melalaikan orang mengerja-kan shalat.
وَقُومُوا
ِللهِ قَانِتِينَ (238)
Berdirilah
karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu`. (238)
Tetapi kalau dalam
keadaan takut, maka boleh mendirikan shalat sambil berjalan atau berkenderaan:
فَإِنْ
خِفْتُمْ فَرِجَالاً أَوْ رُكْبَانًا
Jika
kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau
berkendaraan.
Beginilah Islam
memberikan kelapangan bagi ummatnya untuk melaksanakan shalat… Sebagai sistem
peribadatan yang terpenting dalam Islam shalat wajib didirikan, bagaimanapun
keadaannya.
Pelaksanaan shalat
berjamaah dalam keadaan takut pada waktu perang dinyatakan Allah SWT melalui
firmanNya dalam surat
An-Nisak ayat 102:
وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاَةَ
فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا
سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِنْ وَرَائِكُمْ وَلْتَأْتِ طَائِفَةٌ أُخْرَى لَمْ
يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ وَدَّ
الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ تَغْفُلُونَ عَنْ أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ
فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُمْ مَيْلَةً وَاحِدَةًوَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ كَانَ
بِكُمْ أَذًى مِنْ مَطَرٍ أَوْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَنْ تَضَعُوا أَسْلِحَتَكُمْ
وَخُذُوا حِذْرَكُمْ إِنَّ اللَّهَ أَعَدَّ لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا(102)
"Dan
apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak
mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka
berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka
(yang shalat besertamu) sujud (telah menyempur-nakan seraka`at), maka hendaklah
mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang
golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka
denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata.
Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta
bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu
meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan
atau karena kamu memang sakit; dan siap-siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah
menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu."
Dispensasi shalat
dalam keadaan berjalan atau berkenderaan ini, tidak berlaku lagi bila telah
aman:
فَإِذَا
أَمِنْتُمْ فَاذْكُرُوا اللهَ كَمَا عَلَّمَكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ (239)
Kemudian
apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah
telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. (239)
Jadi, apabila
keadaan aman maka hendaklah mengerjakan shalat dengan memenuhi syarat dan rukun
yang telah ditetapkan. Seperti berdiri betul, menghadap Kiblat dan lain
sebagainya.
Setelah membicarakan
tentang pelaksanaan shalat dalam keadaan takut (bahaya), maka ayat berikutnya,
menetapkan tentang hak seorang suami yang berwasiat, sewaktu akan meninggal
dunia untuk isterinya, yaitu; diberi nafkah selama setahun dari harta yang
ditinggalkannya, dengan tidak disuruh pindah dari rumahnya…
وَالَّذِينَ
يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً ِلأَزْوَاجِهِمْ
Dan
orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan isteri,
hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya,
مَتَاعًا
إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ
(yaitu)
diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari
rumahnya).
فَإِنْ
خَرَجْنَ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِي مَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ مِنْ
مَعْرُوفٍ
Akan
tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau
waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma`ruf terhadap diri
mereka.
وَاللهُ
عَزِيزٌ حَكِيمٌ (240)
Dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (240)
Adapun tentang
sebab turun ayat, menurut riwayat yang disampaikan oleh Ishaq bin Rahawaih
dalam Tafsirnya yang bersumber dari Muqatil Ibnu Hibban, bahwa: Seorang
laki-laki dari Thaif datang ke Madinah bersama anak dan kedua orang tuanya,
yang kemudian meninggal dunia di sana.
Hal ini disampaikan kepada Nabi SAW. Beliau membagikan harta peninggalannya
kepada anak-anak dan ibu bapaknya, sedang isterinya tidak diberi bagian, hanya
mereka yang diberi bagian diperintahkan untuk memberi belanja kepadanya dari
harta peninggalan suaminya itu selama setahun. Maka turunlah ayat 240 di atas
yang membenarkan tindakan Rasulullah SAW untuk memberi nafkah selama setahun
kepada isteri yang ditinggal mati oleh suaminya. Peristiwa ini terjadi sebelum
turun ayat tentang hukum warisan.
Menurut mayoritas
ahli tafsir ayat 240 ini, dinasakhkan dengan ayat sebelumnya yaitu "Orang-orang
yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah
para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber`iddah) empat bulan sepuluh hari.(ayat
234)" dan dengan ayat tentang warisan,
yang menerangkan bagian untuk isteri "وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ
لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ
مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ (Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu
tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu
buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu.) (Surat An-Nisak ayat: 12)
Ayat berikutnya
membicarakan tentang mut'ah, yaitu: suatu pemberian dari suami kepada isterinya
sewaktu ia menceraikannya. Pemberian itu diwajibkan atas laki-laki apabila
perceraian itu terjadi karena kehendak suami. Tetapi kalau perceraian itu
kehendak isteri, pemberian itu tidak wajib.
وَلِلْمُطَلَّقَاتِ
مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
Kepada
wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut`ah
menurut yang ma`ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang takwa. (241)
Tentang mut'ah ini,
Allah berfirman pada ayat lain:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ
الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا
لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ
سَرَاحًا جَمِيلاً(49)
"Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang
beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka
sekali-kali tidak wajib atas mereka `iddah bagimu yang kamu minta
menyempurnakannya, Maka berilah mereka mut`ah dan lepaskanlah mereka itu dengan
cara yang sebaik-baiknya." (Q.S. Al-Ahzab:
49)
Allah SWT
selanjutnya berfirman:
كَذَلِكَ
يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ (242)
Demikianlah
Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya) supaya kamu
memahaminya. (242)
Demikianlah Allah
menerangkan ketentuan hukum-hukumNya supaya kamu memahami dan mendalami
maksudnya. Yang demikian kamu akan selamat menempuh kehidupan dunia dan
akhirat.