Sabtu, 29 Agustus 2015

TERJEMAHAN SURAT AL-BAQARAH AYAT 221 SD 242

POKOK-POKOK HUKUM PERKAWINAN, THALAK DAN PENYUSUAN

(Bagian 2)

Selanjutnya pembicaraan dilanjutkan dengan aturan pergaulan suami isteri:

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى

Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah kotoran".

Sesungguhnya terdapat bermacam ragam pandangan manusia terhadap wanita haidh, tergantung kepada kepercayaan atau agama yang dianutnya. Masyarakat Yahudi Madinah, misalnya memperlakukan wanita haidh secara berlebihan.

Diriwayatkan oleh Muslim dan At-Turmudzi yang bersumber dari Anas bahwa; orang-orang Yahudi tidak mau makan bersama-sama atau bergaul dengan isterinya yang sedang haidh, bahkan mengasingkan dari rumahnya. Para sahabat bertanya kepada Nabi SAW tentang itu.  Maka turunlah ayat 222 ini. Nabi SAW bersabda: "Berbuatlah apa yang pantas dilakukan dalam pergaulan suami isteri, kecuali bersenggam."

فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ

Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.


فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللهُ

Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.

Jadi perbuatan yang terlarang selama isteri sedang haidh adalah bersetubuh. Selain demikian dibolehkan… Inilah pendapat mayoritas ulama.

Abu Daud berkata: Kepada kami diceriterakan oleh Musa bin Ismail, kepada kami diceriterakan oleh Hammad dari Ayyub, dari Ikrimah, dari sebagian isteri Nabi SAW: Apabila beliau SAW menginginkan sesuatu dari isterinya yang haidh, maka beliau meletakkan kain di atas kemaluan (isteri)nya itu. Abu Daud juga berkata: kepada kami diceriterakan oleh As-Sya'bi, kepada kami diceriterakan oleh Abdullah yakni Ibnu Umar bin Ghanim dari Abdurrahman yakni Ibnu Ziyad, dari 'Imarah bin Ghurab, bahwa bibinya menceriterakan kepadanya, bahwa ia bertanya kepada 'Aisyah dengan mengatakan: Salah seorang kami sedang haidh, tidak ada miliknya dan suaminya selain tempat tidur yang satu. 'Aisyah menanggapi: Aku ceriterakan kepadamu apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW, beliau masuk terus ke masjidnya, kata Abu Daud yakni; masjid (tempat sujud) di rumahnya. Setelah beliau selesai (shalat) akupun diserang rasa ngantuk. Lalu hawa dingin menyakitkan beliau, maka beliau bersabda: "Mendekatlah padaku" Aku berkata:  "Aku sedang haidh". Beliau bersabda: "Bukakan kedua pahamu", lantas aku bukakan kedua pahaku. Maka beliau meletakkan pipi dan dadanya di atas kedua pahaku, dan aku membungkuk kepadanya, sehingga beliau hangat dan tidur.

Di samping kutipan hadits di atas, masih banyak lagi hadits-hadits yang menerangkan bahwa perbuatan yang terlarang dilakukan kepada isteri yang sedang haidh adalah jima' atau bersetubuh…

Jika ada yang pernah melakukan perbuatan demikian, maka hendaklah ia bertaubat kepada Allah SWT:

إِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ (222)

Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (222)

Seiring dengan demikian, dijelaskan pula tentang sopan santun dalam menggauli isteri… Isteri diibarat dengan tanah tempat bercocok tanam, tetapi hendaklah menghindari perbuatan yang dilarang. Yaitu menggauli isteri pada duburnya (anus, bukan vagina)…

نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ

Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki…

Apabila kita memperhatikan penjelasan tentang sebab turun ayat, ternyata terdapat berbagai macam kasus yang melatarbelakangi turun ayat. Tetapi pokok persoalan berpunca kepada keluasan pergaulan suami isteri, ayat ini membenarkan menggauli isteri dari muka ataupun belakang dan dari mana saja suami suka, selama masih pada vagina, bukan anusnya… Imam Ahmad dan At-Turmudzi meriwayatkan yang bersumber dari Ibnu Abbas, bahwa: Umar datang menghadap kepada Rasulullah SAW dan berkata: "Wahai Rasulullah, celakalah saya". Nabi SAW bertanya: "Apa yang menyebabkan kamu celaka?" Ia menjawab: "Aku pindahkan sukhdufku tadi malam (bersetubuh dengan isteriku dari belakang)." Nabi SAW terdiam, dan turunlah ayat 223 ini, yang kemudian beliau ungkapkan: "Berbuatlah dari muka atau belakang, tetapi hindarilah dubur (anus) dan yang sedang haidh." Menurut versi lain yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Daud dan At-Turmudzi yang bersumber dari Jabir, bahwa; orang-orang Yahudi beranggapan, apabila menggauli isteri dari belakang ke vaginanya, anaknya akan lahir bermata juling. Maka turunlah ayat 223 tersebut yang membantah anggapan tersebut.

وَقَدِّمُوا  ِلأَنْفُسِكُمْ

Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu,

وَاتَّقُوا اللهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ مُلاَقُوهُ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ

dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman. (223)

Kemudian pembicaraan beralih kepada masalah sumpah… Yaitu menegaskan sesuatu dengan menyebut Nama Allah yang tertentu atau menyebut sifat-sifatNya.

Adapun sumpah dengan menyebut selain dari Nama Allah atau sifat-sifanya, seperti sumpah dengan makhluk, tidak sah; berarti tidak wajib ditepati dan tidak wajib kaffarat (denda):

وَلاَ تَجْعَلُوا اللهَ عُرْضَةً ِلأَيْمَانِكُمْ أَنْ تَبَرُّوا وَتَتَّقُوا وَتُصْلِحُوا بَيْنَ النَّاسِ

Janganlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa dan mengadakan ishlah di antara manusia.


وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (224)

Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (224)


Ibnu Abbas menafsirkan ayat ini: "Janganlah kamu menjadikan sumpahmu sebagai penghalang berbuat kebajikan, tetapi hendaklah kamu menutupi (membayar kaffarat) sumpahmu dan berbuat kebajikanlah", demikian dikatakan oleh Masruq, As-Sya'bi, Ibrahim An-Nakha'I, Mujahid, Thawus, Sa'id ibnu Jubair, 'Athak, 'Ikrimah, Mak-hul, Az-Zuhri, Al-Hasan, Qatadah, Muqatil ibnu Hibban, Ar-Rabi' ibnu Anas, Ad-Dhahhak, 'Atha' Al-Khurasani, serta As-Suddi, begitu dicantumkan oleh Ibnu Katsir.

Sebagai saksi kebenaran penafsiran ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim –dengan jalur periwayatan – yang bersumber dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَى غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَلْيُكَفِّرْ عَنْ يَمِينِهِ وَلْيَفْعَلْ (مسلم/ الأيمان/ 3114)

“Barangsiapa yang bersumpah atas suatu sumpah, lalu ia melihat sesuatu yang lebih baik dari sumpahnya itu, maka hendaklah ia membayar kaffarat sumpahnya, dan hendaklah ia melakukan yang lebih baik itu."

Al-Bukhari meriwayatkan –dengan jalur periwayatannya- yang bersumber dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:

وَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاللهِ لأَنْ يَلِجَّ أَحَدُكُمْ بِيَمِينِهِ فِي أَهْلِهِ آثَمُ لَهُ عِنْدَ اللهِ مِنْ أَنْ يُعْطِيَ كَفَّارَتَهُ الَّتِي افْتَرَضَ اللهُ عَلَيْهِ (البخاري/ الأيمان والنذور/6135)

"Demi Allah, sungguh perbuatan seseorang yang meneruskan sumpahnya pada keluarganya, lebih besar dosanya di sisi Allah, daripada membayar kaffarat yang Allah fardhukan kepadanya."


Realitas ini pernah dialami Abu Bakar Siddiq r.a. sewaktu bersumpah untuk tidak memberikan bantuan kepada Misthah kerabatnya, yang ikut dalam menyebarkan berita bohong (kasus 'Aisyah), maka Allah menurunkan ayat surat An-Nur ayat 2:

وَلاَ يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلاَ تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللهُ لَكُمْ وَاللهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ(22)

Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat (nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema`afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Maka Abu Bakar mencabut sumpahnya dan membayar kaffarat…

Adapun sumpah yang diucapkan tanpa sengaja, atau keliru, maka Allah SWT mema'afkan dan tidak wajib membayar kaffaratnya.

لاَ يُؤَاخِذُكُمُ اللهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا كَسَبَتْ قُلُوبُكُمْ

Allah tidak menghukum kamu disebabkan sum-pahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu.

وَاللهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ (225)

Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (225)

Tentang kaffarat tersebut diterangkan pula oleh Allah SWT pada surat Al-Maidah ayat 89:

لاَ يُؤَاخِذُكُمُ اللهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الأَيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُوا أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (89)

Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersum-pah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya). (Q.S. Al-Maidah: 89)

Abu Daud meriwayatkan dari 'Aisyah r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Sumpah-sumpah yang tidak dimaksud untuk bersumpah, adalah ucapan seseorang di rumahnya: "sekali-kali tidak demi Allah..", dan, "tetapi demi Allah…" Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari jalur 'Urwah secara mauquf kepada 'Aisyah: "Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah)…": "sekali-kali tidak demi Allah..", dan, "tetapi demi Allah…" Di dalam hadits mursal – dari Al-Hasan ibnu Abil Hasan – ia berkata: "Rasulullah melewati suatu kaum yang sedang memanah. Ikut bersama Rasulullah, seorang laki-laki sahabatnya. Lalu seorang laki-laki dari kaum itu berdiri, dan berkata: "Demi Allah, sasaranku tepat.." dan "demi Allah sasaranku meleset…" Maka sahabat yang bersama Nabi SAW berkata kepada beliau SAW: "Lelaki itu melanggar sumpah, wahai Rasulullah!". Nabi SAW bersabda: "Tidak, sumpah para pemanah itu adalah laghwun (tidak dimaksud untuk bersumpah), tidak ada kaffatnya dan tidak ada hukumannya…"

Dikemukakan dari Ibnu Abbas r.a. "laghwul yamin (sumpah yang tidak dimaksud untuk bersumpah) yaitu sumpahmu, dalam keadaan marah… Begitupun diriwayatkan daripadanya: "Sumpah yang tidak dimaksud untuk bersumpah adalah bahwa engkau mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, yang demikian tidak wajib bagimu membayar kaffarat."

Dari Sa'id ibnu Musayyab bahwa dua orang lelaki bersaudara dari suku Anshar, antara keduanya ada warisan. Salah seorang bertanya kepada saudaranya harta bagiannya. Lalu ia berkata: Jika engkau mengulangi bertanyaan kepadaku tentang bahagian itu, maka seluruh harta bendaku di pintu besar (diinfak untuk) Ka'bah! Lantas Umar berkata kepadanya: "Ka'bah tidak memerlukan hartamu. Bayarlah kaffat sumpahmu dan berbicaralah pada saudaramu. Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: "Tidak ada sumpah bagimu, dan tidak ada nazar dalam mendurhakai Rab 'azza wa jalla, dan tidak dalam memutuskan rahim, dan tidak pula pada sesuatu yang tidak dimiliki." (Abu Daud/ Aiman wan Nuzur/ 2847)

Dari ungkapan hadits-hadits ini maka dapat disimpulkan bahwa sumpah tidak dipandang sah apabila diucapkan berlawanan dengan niat yang sebenarnya, itulah sumpah yang diucapkan tetapi tidak dimaksudkan untuk bersumpah, dan tidak ada kaffaratnya.  Sumpah yang dipandang sah adalah sumpah yang diucapkan oleh yang ber-sumpah dengan niat untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu. Maka sumpah seperti ini wajib dibayar kaffaratnya apabila dilanggar.

Selanjutnya seseorang wajib melanggar sumpahnya apabila menghalangi seseorang untuk berbuat kebajikan, atau mendorong untuk berbuat kejahatan. Adapun apabila seseorang bersumpah atas sesuatu, sedang dia mengetahui bahwa dia berbohong, menurut sebagian pendapat Ulama, tidak wajib baginya membayar kaffarat. Imam Malik mengatakan dalam Al-Muwattha': "Pendapat terbaik yang aku dengar tentang demikian bahwa sumpah yang tidak dimaksud untuk bersumpah adalah seseorang bersumpah atas sesuatu yang diyakininya seperti demikian, namun ternyata berlawanan dengan yang diyakininya tadi. Maka tidak ada kaffaratnya. Dan orang yang bersumpah atas sesuatu, padahal dia sadar bahwa ia berbuat dosa dan berbohong, demi menyenangkan orang lain, dan demi merampas harta orang lain. Maka ini adalah perkara besar yang wajib baginya membayar kaffarat."

Seiring dengan penjelasan tentang sumpah, maka datanglah ketentuan hukum yang ber-hubungan dengan krisis rumah tangga yang terjadi antara suami isteri, dimana suami meng-ilaa' isteri. Ilaa' adalah seorang suami bersumpah untuk tidak menggauli isterinya, dalam masa yang lebih dari empat bulan atau dengan tidak menyebutkan jangka waktunya…

Jadi, kita berhadapan dengan persoalan psikologis yang memedihkan jiwa suami isteri yang sedang melayarkan bahtera rumah tangga mereka, dimana ada faktor insidentil menggoncang keharmonisan hubungan antara kedua belah pihak… Dalam pada itu sang suami bersumpah untuk tidak lagi menggauli isterinya.

Allah SWT masih mentolerir perbuatan sang suami dalam tempo empat bulan. Selama empat bulan itu ia boleh memilih dua alternatif: Rujuk (kembali) kepada isteri, atau menceraikannya.

 لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ

Kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya).

فَإِنْ فَاءُوا

Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya),

Ungkapan "jika sang suami kembali kepada isterinya", adalah kata sindiran dari "hubungan suami isteri".

فَإِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (226)

maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (226)

Imam Ibnu Katsir mengomentari:

"فإن فاءوا فإن الله غفور رحيم" فيه دلالة لأحد قولي العلماء وهو القديم عن الشافعي أن المولي إذ فاء بعد الأربعة الأشهر أنه لا كفارة عليه ويعتضد بما تقدم في الحديث عند الآية التي قبلها عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده أن رسول الله - صلى الله عليه وسلم - قال "من حلف على يمين فرأى غيرها خيرا منها فتركها كفارتها" كما رواه أحمد وأبو داود والترمذي والذي عليه الجمهور وهو الجديد من مذهب الشافعي أن عليه التكفير لعموم وجوب التكفير على كل حالف كما تقدم أيضا في الأحاديث الصحاح والله أعلم.

Dalam ungkapan ini terkandung dalil dari dua pendapat Ulama, yaitu pendapat lama (al-qadim) dari As-Syafi'I, bahwa orang yang meng-ilaa' isterinya, jika kembali (bergaul dengan isterinya) setelah empat bulan, maka tidak ada kaffarat baginya, dan ia menguatkan pendapatnya dengan hadits terdahulu di samping ayat yang sebelumnya, bersumber dari Amru bin Syu'aib dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa yang bersumpah dengan suatu sumpah, lalu ia melihat selain itu lebih baik daripadanya, maka meninggalkan (sumpah)nya adalah sebagai kaffatnya." Seperti yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan At-Turmudzi, serta yang dianut oleh jumhur (mayoritas ulama) dan pendapat baru (al-jadid) dari Mazhab Syafi'I, bahwa sang suami wajib membayar kaffarat, karena umumnya kewajiban membayar kaffarat, bagi setiap orang yang bersumpah, seperti yang telah dikemukakan dalam hadits-hadits shaheh, wallu a'lam.

وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلاَقَ فَإِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (227)

Dan jika mereka ber`azam (bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (227)

Kalau suami tidak menjalankan salah satu dari dua perkara di atas setelah berlangsung empat bulan, maka hakim berhak menceraikan mereka dengan paksa. Sebagian ulama berpendapat, apabila sampai empat bulan suami tidak kembali (bergaul suami isteri), maka dengan sendirinya kepada isteri itu jatuh thalak bain (tidak bisa rujuk), tidak perlu dikemukakan kepada hakim.

Sekarang pembicaraan beralih kepada ketentuan yang berkaitan dengan thalak (melepas-kan ikatan perkawinan, atau perceraian)… Pada dasarnya perceraian adalah perbuatan halal yang paling dibencihi Allah SWT, seperti yang diungkapkan dalam hadits: "Menurut keterangan Ibnu Umar r.a. bahwa Rasulullah SAW telah bersabda: "Sesuatu yang halal yang sangat dibencihi Allah adalah thalak." (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)

Namun demikian, krisis rumah tangga ada-kalanya menuntut terjadinya perceraian… Islam menetapkan ketentuan "Iddah" yang diwajibkan atas wanita yang diceraikan suami; baik cerai hidup, ataupun mati. Ketentuan ini berguna, supaya diketahui kandungannya berisi atau tidak. Dan juga berguna sebagai masa tenggang bagi suami yang menthalak untuk rujuk kembali kepada isteri yang dithalaknya dengan thalak yang boleh dirujuk. 

Menurut suatu versi yang diriwayatkan oleh At-Tsa'labi dan Hibatullah bin Salamah dalam kitab An-Nasai yang bersumber dari Al-Kalbi dan Muqatil, bahwa Ismail bin Abdillah Al-Ghiffari menthalak isterinya Qathilah di zaman Rasulullah SAW. Ia sendiri tidak mengetahui bahwa isterinya sedang hamil. Setelah ia mengetahuinya, maka ia rujuk kepada isterinya itu. Isterinya melahirkan dan meninggal, demikian juga bayinya. Maka turunlah ayat 228 surat Al-Baqarah ini yang menegaskan betapa pentingnya masa iddah bagi wanita, untuk mengetahui hamil tidaknya isteri.

Abu Daud dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan yang bersumber dari Asmak bin Yazid bin As-Sakan Al-Anshariyyah yang mengatakan: "Aku dithalak oleh suamiku di zaman Rasulullah SAW, di sa'at belum ada hukum iddah bagi wanita yang dithalak, maka Allah menetapkan hukum iddah bagi wanita yaitu setelah tiga kali quru…

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوءٍ

Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.

Yang dimaksud dengan "wanita-wanita yang dithalak", di sini adalah wanita yang dicerai hidup oleh suaminya, kalau dia dalam keadaan haidh. Maka iddahnya tiga kali quru. Sedangkan penger-tian quru, diperselisihkan oleh para ahli fiqih, ada yang mengartikan "suci" dan ada yang mengata-kan "haidh". Pendapat yang terkuat adalah dengan arti "suci", demikian yang dianut oleh 'Aisyah, Malik, As-Syafi'i, dan lain-lain.


وَلاَ يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ

Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat.

Isteri yang dithalak tersebut diseru untuk berlaku jujur mengenai keadaan kandungannya.

وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاَحًا

Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah.

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ

Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma`ruf.

Perempuan yang ta'at dalam iddah raj'iyah berhak menerima tempat tinggal (rumah), pakaian, dan segala keperluan hidupnya, dari bekas suami yang menalaknya; kecuali isteri yang durhaka, tidak berhak menerima apa-apa.

وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (228)

Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (228)

Suami setingkat dilebihkan dari isterinya dalam rumah tangga, seperti yang diterangkan Allah pada surat An-Nisak ayat 34:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللهُ وَاللاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا(34)

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta`at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz-nya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta`atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyu-sahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (Q.S. An-Nisak: 34)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar