POKOK-POKOK
HUKUM PERKAWINAN, THALAK DAN PENYUSUAN
(Bagian 2)
Selanjutnya
pembicaraan dilanjutkan dengan aturan pergaulan suami isteri:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى
Mereka
bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah
kotoran".
Sesungguhnya
terdapat bermacam ragam pandangan manusia terhadap wanita haidh, tergantung
kepada kepercayaan atau agama yang dianutnya. Masyarakat Yahudi Madinah,
misalnya memperlakukan wanita haidh secara berlebihan.
Diriwayatkan oleh
Muslim dan At-Turmudzi yang bersumber dari Anas bahwa; orang-orang Yahudi tidak
mau makan bersama-sama atau bergaul dengan isterinya yang sedang haidh, bahkan
mengasingkan dari rumahnya. Para sahabat
bertanya kepada Nabi SAW tentang itu.
Maka turunlah ayat 222 ini. Nabi SAW bersabda: "Berbuatlah apa yang
pantas dilakukan dalam pergaulan suami isteri, kecuali bersenggam."
فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ
حَتَّى يَطْهُرْنَ
Oleh
sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan
janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.
فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللهُ
Apabila
mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan
Allah kepadamu.
Jadi perbuatan yang
terlarang selama isteri sedang haidh adalah bersetubuh. Selain demikian
dibolehkan… Inilah pendapat mayoritas ulama.
Abu Daud berkata:
Kepada kami diceriterakan oleh Musa bin Ismail, kepada kami diceriterakan oleh
Hammad dari Ayyub, dari Ikrimah, dari sebagian isteri Nabi SAW: Apabila beliau
SAW menginginkan sesuatu dari isterinya yang haidh, maka beliau meletakkan kain
di atas kemaluan (isteri)nya itu. Abu Daud juga berkata: kepada kami
diceriterakan oleh As-Sya'bi, kepada kami diceriterakan oleh Abdullah yakni
Ibnu Umar bin Ghanim dari Abdurrahman yakni Ibnu Ziyad, dari 'Imarah bin
Ghurab, bahwa bibinya menceriterakan kepadanya, bahwa ia bertanya kepada
'Aisyah dengan mengatakan: Salah seorang kami sedang haidh, tidak ada miliknya
dan suaminya selain tempat tidur yang satu. 'Aisyah menanggapi: Aku ceriterakan
kepadamu apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW, beliau masuk terus ke
masjidnya, kata Abu Daud yakni; masjid (tempat sujud) di rumahnya. Setelah
beliau selesai (shalat) akupun diserang rasa ngantuk. Lalu hawa dingin
menyakitkan beliau, maka beliau bersabda: "Mendekatlah padaku" Aku
berkata: "Aku sedang haidh".
Beliau bersabda: "Bukakan kedua pahamu", lantas aku bukakan kedua
pahaku. Maka beliau meletakkan pipi dan dadanya di atas kedua pahaku, dan aku
membungkuk kepadanya, sehingga beliau hangat dan tidur.
Di samping kutipan
hadits di atas, masih banyak lagi hadits-hadits yang menerangkan bahwa
perbuatan yang terlarang dilakukan kepada isteri yang sedang haidh adalah jima'
atau bersetubuh…
Jika ada yang
pernah melakukan perbuatan demikian, maka hendaklah ia bertaubat kepada Allah
SWT:
إِنَّ
اللهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ (222)
Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan
diri. (222)
Seiring dengan
demikian, dijelaskan pula tentang sopan santun dalam menggauli isteri… Isteri
diibarat dengan tanah tempat bercocok tanam, tetapi hendaklah menghindari
perbuatan yang dilarang. Yaitu menggauli isteri pada duburnya (anus, bukan
vagina)…
نِسَاؤُكُمْ
حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ
Isteri-isterimu
adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat
bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki…
Apabila kita
memperhatikan penjelasan tentang sebab turun ayat, ternyata terdapat berbagai
macam kasus yang melatarbelakangi turun ayat. Tetapi pokok persoalan berpunca
kepada keluasan pergaulan suami isteri, ayat ini membenarkan menggauli isteri
dari muka ataupun belakang dan dari mana saja suami suka, selama masih pada
vagina, bukan anusnya… Imam Ahmad dan At-Turmudzi meriwayatkan yang bersumber
dari Ibnu Abbas, bahwa: Umar datang menghadap kepada Rasulullah SAW dan
berkata: "Wahai Rasulullah, celakalah saya". Nabi SAW bertanya:
"Apa yang menyebabkan kamu celaka?" Ia menjawab: "Aku pindahkan
sukhdufku tadi malam (bersetubuh dengan isteriku dari belakang)." Nabi SAW
terdiam, dan turunlah ayat 223 ini, yang kemudian beliau ungkapkan:
"Berbuatlah dari muka atau belakang, tetapi hindarilah dubur (anus) dan
yang sedang haidh." Menurut versi lain yang diriwayatkan oleh Bukhari,
Muslim, Abu Daud dan At-Turmudzi yang bersumber dari Jabir, bahwa; orang-orang
Yahudi beranggapan, apabila menggauli isteri dari belakang ke vaginanya,
anaknya akan lahir bermata juling. Maka turunlah ayat 223 tersebut yang
membantah anggapan tersebut.
وَقَدِّمُوا
ِلأَنْفُسِكُمْ
Dan
kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu,
وَاتَّقُوا
اللهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ مُلاَقُوهُ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
dan
bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan
berilah kabar gembira orang-orang yang beriman. (223)
Kemudian
pembicaraan beralih kepada masalah sumpah… Yaitu menegaskan sesuatu dengan
menyebut Nama Allah yang tertentu atau menyebut sifat-sifatNya.
Adapun sumpah
dengan menyebut selain dari Nama Allah atau sifat-sifanya, seperti sumpah
dengan makhluk, tidak sah; berarti tidak wajib ditepati dan tidak wajib
kaffarat (denda):
وَلاَ
تَجْعَلُوا اللهَ عُرْضَةً ِلأَيْمَانِكُمْ أَنْ تَبَرُّوا وَتَتَّقُوا وَتُصْلِحُوا
بَيْنَ النَّاسِ
Janganlah
kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat
kebajikan, bertakwa dan mengadakan ishlah di antara manusia.
وَاللهُ
سَمِيعٌ عَلِيمٌ (224)
Dan
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (224)
Ibnu Abbas
menafsirkan ayat ini: "Janganlah kamu menjadikan sumpahmu sebagai
penghalang berbuat kebajikan, tetapi hendaklah kamu menutupi (membayar
kaffarat) sumpahmu dan berbuat kebajikanlah", demikian dikatakan oleh
Masruq, As-Sya'bi, Ibrahim An-Nakha'I, Mujahid, Thawus, Sa'id ibnu Jubair,
'Athak, 'Ikrimah, Mak-hul, Az-Zuhri, Al-Hasan, Qatadah, Muqatil ibnu Hibban,
Ar-Rabi' ibnu Anas, Ad-Dhahhak, 'Atha' Al-Khurasani, serta As-Suddi, begitu
dicantumkan oleh Ibnu Katsir.
Sebagai saksi
kebenaran penafsiran ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim –dengan
jalur periwayatan – yang bersumber dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW
bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى الله
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَى غَيْرَهَا خَيْرًا
مِنْهَا فَلْيُكَفِّرْ عَنْ يَمِينِهِ وَلْيَفْعَلْ (مسلم/ الأيمان/ 3114)
“Barangsiapa
yang bersumpah atas suatu sumpah, lalu ia melihat sesuatu yang lebih baik dari
sumpahnya itu, maka hendaklah ia membayar kaffarat sumpahnya, dan hendaklah ia
melakukan yang lebih baik itu."
Al-Bukhari
meriwayatkan –dengan jalur periwayatannya- yang bersumber dari Abu Hurairah, ia
berkata: Rasulullah SAW bersabda:
وَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاللهِ
لأَنْ يَلِجَّ أَحَدُكُمْ بِيَمِينِهِ فِي أَهْلِهِ آثَمُ لَهُ عِنْدَ اللهِ مِنْ
أَنْ يُعْطِيَ كَفَّارَتَهُ الَّتِي افْتَرَضَ اللهُ عَلَيْهِ (البخاري/ الأيمان
والنذور/6135)
"Demi
Allah, sungguh perbuatan seseorang yang meneruskan sumpahnya pada keluarganya,
lebih besar dosanya di sisi Allah, daripada membayar kaffarat yang Allah
fardhukan kepadanya."
Realitas ini pernah
dialami Abu Bakar Siddiq r.a. sewaktu bersumpah untuk tidak memberikan bantuan
kepada Misthah kerabatnya, yang ikut dalam menyebarkan berita bohong (kasus
'Aisyah), maka Allah menurunkan ayat surat An-Nur ayat 2:
وَلاَ يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ
يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللهِ
وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلاَ تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللهُ لَكُمْ وَاللهُ
غَفُورٌ رَحِيمٌ(22)
Dan
janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu
bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat
(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah,
dan hendaklah mereka mema`afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin
bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Maka Abu Bakar
mencabut sumpahnya dan membayar kaffarat…
Adapun sumpah yang
diucapkan tanpa sengaja, atau keliru, maka Allah SWT mema'afkan dan tidak wajib
membayar kaffaratnya.
لاَ
يُؤَاخِذُكُمُ اللهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا
كَسَبَتْ قُلُوبُكُمْ
Allah
tidak menghukum kamu disebabkan sum-pahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah),
tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk
bersumpah) oleh hatimu.
وَاللهُ
غَفُورٌ حَلِيمٌ (225)
Dan
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (225)
Tentang kaffarat
tersebut diterangkan pula oleh Allah SWT pada surat Al-Maidah ayat 89:
لاَ يُؤَاخِذُكُمُ اللهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ
وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الأَيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ
عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ
أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ
كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُوا أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ
يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (89)
Allah
tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersum-pah),
tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka
kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin,
yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi
pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak
sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang
demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu
langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu
hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya). (Q.S. Al-Maidah: 89)
Abu Daud
meriwayatkan dari 'Aisyah r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Sumpah-sumpah
yang tidak dimaksud untuk bersumpah, adalah ucapan seseorang di rumahnya:
"sekali-kali tidak demi Allah..", dan, "tetapi demi Allah…" Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari
jalur 'Urwah secara mauquf kepada 'Aisyah: "Allah tidak menghukum
kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah)…": "sekali-kali
tidak demi Allah..", dan,
"tetapi demi Allah…" Di dalam hadits
mursal – dari Al-Hasan ibnu Abil Hasan – ia berkata: "Rasulullah
melewati suatu kaum yang sedang memanah. Ikut bersama Rasulullah, seorang
laki-laki sahabatnya. Lalu seorang laki-laki dari kaum itu berdiri, dan
berkata: "Demi Allah, sasaranku tepat.." dan "demi Allah
sasaranku meleset…" Maka sahabat yang bersama Nabi SAW berkata kepada
beliau SAW: "Lelaki itu melanggar sumpah, wahai Rasulullah!". Nabi
SAW bersabda: "Tidak, sumpah para pemanah itu adalah laghwun (tidak
dimaksud untuk bersumpah), tidak ada kaffatnya dan tidak ada hukumannya…"
Dikemukakan dari
Ibnu Abbas r.a. "laghwul yamin (sumpah yang tidak dimaksud untuk
bersumpah) yaitu sumpahmu, dalam keadaan marah…
Begitupun diriwayatkan daripadanya: "Sumpah yang tidak dimaksud
untuk bersumpah adalah bahwa engkau mengharamkan apa yang dihalalkan Allah,
yang demikian tidak wajib bagimu membayar kaffarat."
Dari Sa'id ibnu
Musayyab bahwa dua orang lelaki bersaudara dari suku Anshar, antara keduanya
ada warisan. Salah seorang bertanya kepada saudaranya harta bagiannya. Lalu ia
berkata: Jika engkau mengulangi bertanyaan kepadaku tentang bahagian itu, maka
seluruh harta bendaku di pintu besar (diinfak untuk) Ka'bah! Lantas Umar
berkata kepadanya: "Ka'bah tidak memerlukan hartamu. Bayarlah kaffat
sumpahmu dan berbicaralah pada saudaramu. Aku mendengar Rasulullah SAW
bersabda: "Tidak ada sumpah bagimu, dan tidak ada nazar dalam
mendurhakai Rab 'azza wa jalla, dan tidak dalam memutuskan rahim, dan tidak
pula pada sesuatu yang tidak dimiliki." (Abu
Daud/ Aiman wan Nuzur/ 2847)
Dari ungkapan
hadits-hadits ini maka dapat disimpulkan bahwa sumpah tidak dipandang sah
apabila diucapkan berlawanan dengan niat yang sebenarnya, itulah sumpah yang
diucapkan tetapi tidak dimaksudkan untuk bersumpah, dan tidak ada
kaffaratnya. Sumpah yang dipandang sah
adalah sumpah yang diucapkan oleh yang ber-sumpah dengan niat untuk melakukan
atau meninggalkan sesuatu. Maka sumpah seperti ini wajib dibayar kaffaratnya
apabila dilanggar.
Selanjutnya
seseorang wajib melanggar sumpahnya apabila menghalangi seseorang untuk berbuat
kebajikan, atau mendorong untuk berbuat kejahatan. Adapun apabila seseorang
bersumpah atas sesuatu, sedang dia mengetahui bahwa dia berbohong, menurut sebagian
pendapat Ulama, tidak wajib baginya membayar kaffarat. Imam Malik mengatakan
dalam Al-Muwattha': "Pendapat terbaik yang aku dengar tentang demikian
bahwa sumpah yang tidak dimaksud untuk bersumpah adalah seseorang bersumpah
atas sesuatu yang diyakininya seperti demikian, namun ternyata berlawanan
dengan yang diyakininya tadi. Maka tidak ada kaffaratnya. Dan orang yang
bersumpah atas sesuatu, padahal dia sadar bahwa ia berbuat dosa dan berbohong,
demi menyenangkan orang lain, dan demi merampas harta orang lain. Maka ini
adalah perkara besar yang wajib baginya membayar kaffarat."
Seiring dengan
penjelasan tentang sumpah, maka datanglah ketentuan hukum yang ber-hubungan
dengan krisis rumah tangga yang terjadi antara suami isteri, dimana suami
meng-ilaa' isteri. Ilaa' adalah seorang suami bersumpah untuk tidak menggauli
isterinya, dalam masa yang lebih dari empat bulan atau dengan tidak menyebutkan
jangka waktunya…
Jadi, kita
berhadapan dengan persoalan psikologis yang memedihkan jiwa suami isteri yang
sedang melayarkan bahtera rumah tangga mereka, dimana ada faktor insidentil
menggoncang keharmonisan hubungan antara kedua belah pihak… Dalam pada itu sang
suami bersumpah untuk tidak lagi menggauli isterinya.
Allah SWT masih
mentolerir perbuatan sang suami dalam tempo empat bulan. Selama empat bulan itu
ia boleh memilih dua alternatif: Rujuk (kembali) kepada isteri, atau
menceraikannya.
لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ
مِنْ نِسَائِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ
Kepada
orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya).
فَإِنْ
فَاءُوا
Kemudian
jika mereka kembali (kepada isterinya),
Ungkapan "jika
sang suami kembali kepada isterinya", adalah kata sindiran dari
"hubungan suami isteri".
فَإِنَّ
اللهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (226)
maka sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (226)
Imam Ibnu Katsir
mengomentari:
"فإن فاءوا
فإن الله غفور رحيم" فيه دلالة لأحد قولي العلماء وهو القديم عن الشافعي أن
المولي إذ فاء بعد الأربعة الأشهر أنه لا كفارة عليه ويعتضد بما تقدم في الحديث عند
الآية التي قبلها عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده أن رسول الله - صلى الله عليه
وسلم - قال "من حلف على يمين فرأى غيرها خيرا منها فتركها كفارتها" كما
رواه أحمد وأبو داود والترمذي والذي عليه الجمهور وهو الجديد من مذهب الشافعي أن
عليه التكفير لعموم وجوب التكفير على كل حالف كما تقدم أيضا في الأحاديث الصحاح
والله أعلم.
Dalam ungkapan ini
terkandung dalil dari dua pendapat Ulama, yaitu pendapat lama (al-qadim) dari
As-Syafi'I, bahwa orang yang meng-ilaa' isterinya, jika kembali (bergaul
dengan isterinya) setelah empat bulan, maka tidak ada kaffarat baginya, dan
ia menguatkan pendapatnya dengan hadits terdahulu di samping ayat yang
sebelumnya, bersumber dari Amru bin Syu'aib dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa
Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa yang bersumpah dengan suatu
sumpah, lalu ia melihat selain itu lebih baik daripadanya, maka meninggalkan
(sumpah)nya adalah sebagai kaffatnya."
Seperti yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan At-Turmudzi, serta yang
dianut oleh jumhur (mayoritas ulama) dan pendapat baru (al-jadid) dari Mazhab
Syafi'I, bahwa sang suami wajib membayar kaffarat, karena umumnya
kewajiban membayar kaffarat, bagi setiap orang yang bersumpah, seperti yang
telah dikemukakan dalam hadits-hadits shaheh, wallu a'lam.
وَإِنْ عَزَمُوا
الطَّلاَقَ فَإِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (227)
Dan jika
mereka ber`azam (bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui. (227)
Kalau suami tidak
menjalankan salah satu dari dua perkara di atas setelah berlangsung empat
bulan, maka hakim berhak menceraikan mereka dengan paksa. Sebagian ulama
berpendapat, apabila sampai empat bulan suami tidak kembali (bergaul suami
isteri), maka dengan sendirinya kepada isteri itu jatuh thalak bain (tidak bisa
rujuk), tidak perlu dikemukakan kepada hakim.
Sekarang
pembicaraan beralih kepada ketentuan yang berkaitan dengan thalak (melepas-kan
ikatan perkawinan, atau perceraian)… Pada dasarnya perceraian adalah perbuatan
halal yang paling dibencihi Allah SWT, seperti yang diungkapkan dalam hadits: "Menurut
keterangan Ibnu Umar r.a. bahwa Rasulullah SAW telah bersabda: "Sesuatu
yang halal yang sangat dibencihi Allah adalah thalak." (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
Namun demikian,
krisis rumah tangga ada-kalanya menuntut terjadinya perceraian… Islam menetapkan
ketentuan "Iddah" yang diwajibkan atas wanita yang diceraikan suami;
baik cerai hidup, ataupun mati. Ketentuan ini berguna, supaya diketahui
kandungannya berisi atau tidak. Dan juga berguna sebagai masa tenggang bagi
suami yang menthalak untuk rujuk kembali kepada isteri yang dithalaknya dengan
thalak yang boleh dirujuk.
Menurut suatu versi
yang diriwayatkan oleh At-Tsa'labi dan Hibatullah bin Salamah dalam kitab
An-Nasai yang bersumber dari Al-Kalbi dan Muqatil, bahwa Ismail bin Abdillah
Al-Ghiffari menthalak isterinya Qathilah di zaman Rasulullah SAW. Ia sendiri
tidak mengetahui bahwa isterinya sedang hamil. Setelah ia mengetahuinya, maka
ia rujuk kepada isterinya itu. Isterinya melahirkan dan meninggal, demikian
juga bayinya. Maka turunlah ayat 228 surat
Al-Baqarah ini yang menegaskan betapa pentingnya masa iddah bagi wanita, untuk
mengetahui hamil tidaknya isteri.
Abu Daud dan Ibnu
Abi Hatim meriwayatkan yang bersumber dari Asmak bin Yazid bin As-Sakan
Al-Anshariyyah yang mengatakan: "Aku dithalak oleh suamiku di zaman
Rasulullah SAW, di sa'at belum ada hukum iddah bagi wanita yang dithalak, maka
Allah menetapkan hukum iddah bagi wanita yaitu setelah tiga kali quru…
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوءٍ
Wanita-wanita
yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.
Yang dimaksud
dengan "wanita-wanita yang dithalak", di sini adalah wanita yang
dicerai hidup oleh suaminya, kalau dia dalam keadaan haidh. Maka iddahnya tiga
kali quru. Sedangkan penger-tian quru, diperselisihkan oleh para ahli fiqih,
ada yang mengartikan "suci" dan ada yang mengata-kan
"haidh". Pendapat yang terkuat adalah dengan arti "suci",
demikian yang dianut oleh 'Aisyah, Malik, As-Syafi'i, dan lain-lain.
وَلاَ
يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ
يُؤْمِنَّ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ
Tidak
boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika
mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat.
Isteri yang
dithalak tersebut diseru untuk berlaku jujur mengenai keadaan kandungannya.
وَبُعُولَتُهُنَّ
أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاَحًا
Dan
suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para
suami) itu menghendaki ishlah.
وَلَهُنَّ
مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Dan para
wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
ma`ruf.
Perempuan yang
ta'at dalam iddah raj'iyah berhak menerima tempat tinggal (rumah), pakaian, dan
segala keperluan hidupnya, dari bekas suami yang menalaknya; kecuali isteri
yang durhaka, tidak berhak menerima apa-apa.
وَلِلرِّجَالِ
عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (228)
Akan
tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (228)
Suami setingkat
dilebihkan dari isterinya dalam rumah tangga, seperti yang diterangkan Allah
pada surat
An-Nisak ayat 34:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ
بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ
قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللهُ وَاللاَّتِي تَخَافُونَ
نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ
فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً إِنَّ اللهَ كَانَ
عَلِيًّا كَبِيرًا(34)
Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta`at kepada Allah lagi memelihara
diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz-nya, maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika
mereka menta`atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyu-sahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
(Q.S. An-Nisak: 34)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar