POKOK-POKOK
HUKUM PERKAWINAN, THALAK DAN PENYUSUAN
(Bagian 3)
Adapun thalak yang
bisa dirujuki itu hanyalah dua kali:
الطَّلاَقُ
مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
Talak
(yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang
ma`ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.
"Ayat ini
menghapuskan permasalahan yang terjadi di awal Islam dimana seorang suami lebih
berhak merujuki isteri yang dithalaknya, meskipun dengan thalak seratus kali,
selama masih dalam iddah… Perbuatan demikian adalah memudharatkan isteri, lalu
Allah SWT membatasi thalak itu kepada tiga kali thalak saja, dan yang boleh
untuk dirujuki adalah pada thalak pertama dan kedua. Sedang thalak tiga sama
sekali tidak boleh dirujuki…", demikian pendapat Ulama tafsir.
Ibnu Abi Hatim
meriwayatkan, dengan jalur riwayat yang bersumber dari Hisyam bin 'Urwah dari
bapalnya, bahwa seorang laki-laki berkata kepada isterinya: 'Aku tidak akan
menceraikan kamu selamanya, dan aku tidak akan memberimu tempat untuk
selamanya'. Isterinya berkata: "Bagaimana demikian?". Laki-laki berkata: "Aku menthalakmu sehingga bila masa
iddahmu hampir habis, aku merujuk-mu." Lalu wanita itu men-datangi
Rasulullah SAW, lantas ia sebutkan yang demikian kepada beliau SAW… Maka
turunlah firman Allah 'azzawajalla "ath-thalaaqu marrataani (thalak
itu dua kali)…" (ayat 229 surat Al-Baqarah ini). Begitupun yang
disebutkan oleh Ibnu Jarir di dalam Tafsirnya dari jalur Jarir bin Abdil Hamid
dan Ibnu Idris.
Menurut versi lain,
seorang laki-laki Anshar marah kepada isterinya, lalu berkata: "Demi
Allah, aku tidak akan memberimu tempat tinggal dan tidak akan
menceraikanmu", Isterinya berkata: "Bagaimana demikian?".
Laki-laki berkata: "Aku menthalakmu
sehingga bila masa iddahmu hampir habis, aku merujuk-mu." Lalu wanita itu
men-datangi Rasulullah SAW, lantas ia sebutkan yang demikian kepada beliau SAW…
Maka turunlah firman Allah 'azza wa jalla "ath-thalaaqu marrataani (ayat 229 surat
Al-Baqarah ini). Diriwayatkan oleh Abdu bin Hamid di dalam Tafsirnya , dari
Ja'far bin 'Aun semua mereka dari Hisyam dari bapaknya.
وَلاَ
يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا ءَاتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا
Tidak
halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada
mereka,
إِلاَّ
أَنْ يَخَافَا أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللهِ
kecuali
kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.
Jadi tidak halal
bagi suami mengambil mas kawin, atau nafkah, atau apapun pemberian yang telah
diberikannya kepada isteri selama mereka hidup berumah tangga, pada waktu ia
mencerai-kan isteri itu… Kecuali, bila sang isteri merasa tidak tahan lagi
hidup dengan suaminya itu, lalu dia meminta diceraikan.
فَإِنْ
خِفْتُمْ أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللهِ
Jika
kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum
Allah,
Bila suasana antara
suami isteri sedemikian rupa, maka dibolehkan melakukan "khulu'"
(thalak tebus). Yaitu thalak yang diucapkan suami dengan pembayaran dari pihak
isteri kepada suami".
فَلاَ
جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ
maka
tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk
menebus dirinya.
Imam Malik
meriwayatkan dalam kitabnya Al-Muwattha' bahwa:
حَدَّثَنِي
يَحْيَى عَنْ مَالِك عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ عَمْرَةَ بِنْتِ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ أَنَّهَا أَخْبَرَتْهُ عَنْ حَبِيبَةَ بِنْتِ سَهْلٍ الأَنْصَارِيِّ
أَنَّهَا كَانَتْ تَحْتَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ وَأَنَّ رَسُولَ اللهِ
صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ إِلَى الصُّبْحِ فَوَجَدَ حَبِيبَةَ بِنْتَ
سَهْلٍ عِنْدَ بَابِهِ فِي الْغَلَسِ فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى الله
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ هَذِهِ فَقَالَتْ أَنَا حَبِيبَةُ بِنْتُ سَهْلٍ يَا
رَسُولَ اللهِ قَالَ مَا شَأْنُكِ قَالَتْ لاَ أَنَا وَلاَ ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ
لِزَوْجِهَا فَلَمَّا جَاءَ زَوْجُهَا ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ قَالَ لَهُ رَسُولُ
اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ حَبِيبَةُ بِنْتُ سَهْلٍ قَدْ
ذَكَرَتْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَذْكُرَ فَقَالَتْ حَبِيبَةُ يَا رَسُولَ اللهِ
كُلُّ مَا أَعْطَانِي عِنْدِي فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لِثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ خُذْ مِنْهَا فَأَخَذَ مِنْهَا وَجَلَسَتْ فِي
بَيْتِ أَهْلِهَا (مالك / الموطأ/1033)
Habibah binti Sahal
Al-Anshari adalah menjadi isteri Tsabit bin Qais bin Syimas. Rasululah SAW
keluar pada suatu shubuh, maka beliau mendapati Habibah binti Sahal di samping
pintu beliau dalam gelap shubuh itu. Lalu Rasulullah SAW bersabda: "Siapa
ini?" Ia menjawab: "Aku Habibah binti Sahal!" Nabi SAW bersabda:
"Ada apa
denganmu?" Ia menjawab: "Saya tidak ingin lagi menjadi isteri Tsabit
bin Qais". Maka setelah datang suaminya Tsabit bin Qais, Rasulullah SAW
bersabda kepadanya: "Ini Habibah binti Sahal, telah menyebutkan maasya
Allah yang disebutnya"…. Lantas Habibah berkata: Wahai Rasulullah, semua
yang dia berikan padaku ada padaku. Maka Rasulullah SAW bersabda:
"Ambillah darinya". Dia mengambil dari (isterinya) dan isterinya
kembali pada keluarganya."
Imam Al-Bukhari
meriwayatkan yang ber-sumber dari Ibnu Abbas, bahwa:
حَدَّثَنَا
أَزْهَرُ بْنُ جَمِيلٍ حَدَّثَنَا عَبْدُالْوَهَّابِ الثَّقَفِيُّ حَدَّثَنَا
خَالِدٌ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ
أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ
ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ مَا أَعْتِبُ عَلَيْهِ فِي خُلُقٍ وَلاَ دِينٍ وَلَكِنِّي
أَكْرَهُ الْكُفْرَ فِي الإِسْلاَمِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ قَالَتْ نَعَمْ قَالَ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْبَلِ الْحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً
قَالَ أَبو عَبْد اللهِ لاَ يُتَابَعُ فِيهِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ (البخارى/
الطلاق/4867)
"Isteri Tsabit
bin Qais mendatangi Nabi SAW lalu berkata: Wahai Rasulullah, Tsabit bin Qais
tidaklah aku cela budi pekerti dan agamanya, tetapi aku membencihi kekufuran
dalam Islam. Maka Rasulullah SAW bersabda: "Maukah kamu mengembalikan
kebunnya? (dahulu kebun itulah sebagai maharnya). Ia berkata: "Mau!"
Rasulullah SAW bersabda (kepada Tsabit): "Terimalah kebun itu, dan
thalaklah ia satu kali thalak…"
تِلْكَ
حُدُودُ اللهِ فَلاَ تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللهِ فَأُولَئِكَ
هُمُ الظَّالِمُونَ (229)
Itulah
hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar
hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim. (229)
Selanjut
diterangkan pula tentang status isteri setelah dithalak tiga kali:
فَإِنْ
طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ
Kemudian
jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak
halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.
Jadi, sang suami
tidak dapat rujuk atau kembali menikah dengan bekas isteri yang telah
dithalaknya tiga kali, kecuali bila bekas isterinya ini menikah pula dengan
suami lain, serta sudah bercampur dengannya, lalu diceraikannya…
Menurut riwayat
Ibnu Munzir yang ber-sumber dari Muqatil bin Hibban, bahwa turunnya ayat 230
surat Al-Baqarah ini berkaitan dengan pengaduan 'Aisyah binti Abdurrahman bin
'Atik kepada Rasulullah SAW, bahwa ia telah dithalak oleh suaminya yang kedua
(Abdurrahman bin Zubair Al-Quradzi) dan akan kembali kepada suaminya yang
pertama (Rifa'ah bin Wahab bin 'Atik) yang telah menthalak bain (thalak tiga
kali) kepadanya. 'Aisyah berkata: "Abdurrahman bin Zubair telah menthalak
saya sebelum menggauli. Apakah saya boleh kembali kepada suami yang
pertama?" Nabi menjawab: "Tidak kecuali kamu telah digauli suamimu
yang kedua".
فَإِنْ
طَلَّقَهَا فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ
يُقِيمَا حُدُودَ اللهِ
Kemudian
jika suami yang lain itu menceraikan-nya, maka tidak ada dosa bagi keduanya
(bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat
akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.
Tetapi perceraian
dengan suami yang baru itu tidak boleh dimaksudkan untuk menghalalkan wanita
ini bagi bekas suaminya yang terdahulu.
Rasulullah SAW
bersabda:
حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ عَنْ
عُثْمَانَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنِ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ لَعَنَ
رَسُولُ اللهِ الْمُحِلَّ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ (اللفظ لأحمد/ باقى المسند
المكثرين/ 7937)
"Rasulullah
SAW mengutuk Al-Muhallil (suami lain yang menghalalkan suami pertama untuk
menikahi bekas isterinya yang telah dicerai tiga kali) dan Al-Muhallal lah
(suami pertama)" (HR. Ahmad, An-Nasai dan
At-Turmudzi)
وَتِلْكَ
حُدُودُ اللهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ (230)
Itulah
hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui. (230)
Suami sama sekali
tidak dibenarkan untuk merujuk isterinya dengan maksud untuk meng-aniayai
isterinya…
Dalam suatu riwayat
oleh Ibnu Jarir dari Al-Aufi yang bersumber dari Ibnu Abbas dikemukakan,
seorang laki-laki yang menceraikan isterinya, kemudian merujuknya sebelum habis
iddahnya, terus menceraikannya lagi dengan maksud menyusahkannya dan mengikat
isterinya agar tidak bisa menikah dengan orang lain. Maka turunlah ayat 231 surat Al-Baqarah ini.
Dalam riwayat lain oleh
Ibnu Jarir yang bersumber dari As-Suddi, bahwa turunnya ayat 231 ini berkenaan
dengan Tsabit bin Yatsir Al-Anshari yang menthalak isterinya, dan setelah
hampir iddahnya ia merujuk lagi dan men-ceraikannya lagi dengan maksud
menyakiti isterinya.
Menurut versi lain
yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Umar dalam Musnadnya yang ber-sumber dari Abu
Dardak…. dan diriwayatkan pula oleh Ibnu Munzir yang bersumber dari Ubadah bin
As-Shamit, dan jalur periwayatan yang lainnya, bahwa; seorang laki-laki
menthalak isterinya, kemudian berkata: "Sebenarnya aku hanya bermain-main
saja". Kemudian ia memerdekakan hambanya, tetapi tidak lama kemudian ia
berkata: "Aku hanya bermain-main saja". Maka turunlah ayat 231 ini
sebagai teguran atas perbuatan yang seperti itu.
وَإِذَا
طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ
سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ
Apabila
kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka
rujukilah mereka dengan cara yang ma`ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara
yang ma`ruf (pula).
وَلاَ
تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ
نَفْسَهُ
Janganlah
kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu
menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demi-kian, maka sungguh ia telah berbuat
zalim terhadap dirinya sendiri.
وَلاَ
تَتَّخِذُوا ءَايَاتِ اللهِ هُزُوًا
Janganlah
kamu jadikan hukum-hukum Allah sebagai permainan.
وَاذْكُرُوا
نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ وَمَا أَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِنَ الْكِتَابِ وَالْحِكْمَةِ
يَعِظُكُمْ بِهِ
Dan
ingatlah ni`mat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu
yaitu Al Kitab (Al-Qur'an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah). Allah memberi pengajaran
kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu.
وَاتَّقُوا
اللهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (231)
Dan
bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu. (231)
Selanjutnya Allah
SWT menghadapkan pembicaraan kepada para wali dari wanita yang telah dithalak
suaminya dengan satu kali thalak atau dua kali thalak. Maka habis iddahnya.
Kemudian bekas suaminya ini ingin kembali me-nikahinya. Wanita itupun
menginginkan. Tetapi para wali wanita menghalanginya.
وَإِذَا
طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ
Apabila
kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis iddahnya,
فَلاَ
تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ
بِالْمَعْرُوفِ
maka
janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya,
apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma`ruf.
ذَلِكَ
يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ مِنْكُمْ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ
Itulah
yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah
dan hari kemudian.
ذَلِكُمْ
أَزْكَى لَكُمْ وَأَطْهَرُ وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ (232)
Itu
lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui. (232)
Ali bin Abi Thalhah
berkata yang bersumber dari Ibnu Abbas, ayat 232 ini turun berkenaan dengan
seorang laki-laki yang menthalak isterinya satu atau dua kali thalak. Maka
habislah iddahnya. Kemudian ia ingin menikahi atau kembali kepada bekas
isterinya itu, dan bekas isterinyapun menyetujuinya. Namun para wali sang
wanita menghalangi demikian. Maka Allah melarang perbuatan mereka yang
menghalanginya.
Menurut versi lain
bahwa ayat 232 ini diturunkan berkenaan dengan Ma'qil bin Yasar dan saudara
perempuannya. Yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Abu Daud, At-Turmudzi dan
lain-lain…. Ma'qil bin Yasar mengawinkan saudara perempuannya ini dengan
seorang laki-laki muslim. Beberapa lama kemudian diceraikannya dengan satu kali
thalak. Setelah habis iddahnya, mereka ingin kembali lagi. Maka datanglah
laki-laki tadi bersama Umar bin Khattab untuk meminangnya. Ma'qil menanggapi:
"Hai orang celaka putera orang celaka. Aku muliakan engkau dan aku kawin
kau dengan saudara wanitaku, tetapi engkau ceraikan dia. Demi Allah, ia
tidak akan aku kembalikan kepadamu". Maka turunlah ayat 232 ini yang
melarang wali menghalangi hasrat perkawinan kedua orang itu. Ketika Ma'qil
mendengar ayat itu, ia berkata: "Aku dengar dan aku ta'ati Tuahnku".
Ia memanggil orang itu dan berkata: "Aku kawinkan engkau kepadanya dan aku
mulaikan engkau." Iapun membayar kaffarat sumpahnya…"
Bertitik tolak dari
penjelasan ayat, maka jelaslah bahwa seorang wanita tidak bisa menikahkan
dirinya sendiri. Dan dalam perkawinan mesti ada wali", begitu diungkapkan
oleh At-Turmudzi dan Ibnu Jarir. Seperti yang ditemui di dalam hadits:
حَدَّثَنَا جَمِيلُ بْنُ الْحَسَنِ الْعَتَكِيُّ حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ مَرْوَانَ الْعُقَيْلِيُّ حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ حَسَّانَ عَنْ
مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى
الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ وَلاَ تُزَوِّجُ
الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا فَإِنَّ الزَّانِيَةَ هِيَ الَّتِي تُزَوِّجُ نَفْسَهَا (ابن
ماجه/ النكاح/ 1872)
"Seorang
wanita tidak boleh menikahkan wanita lain, dan seorang wanita tidak boleh
menikahkan dirinya sendiri. Sesungguhnya wanita pezina dialah yang menikahkan
dirinya sendiri."
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَيَّانَ أَبُو خَالِدٍ
حَدَّثَنَا حَجَّاجٌ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ
وَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ (أحمد / باقي مسند الأنصار/25035)
"Tidak
ada nikah kecuali dengan wali, sedangkan sulthan (pemerintah/ wali hakim)
adalah wali orang yang tidak ada walinya."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar